Surat Al-Baqarah Ayat 228

وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىٓ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَٰحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Arab-Latin: Wal-muṭallaqātu yatarabbaṣna bi`anfusihinna ṡalāṡata qurū`, wa lā yaḥillu lahunna ay yaktumna mā khalaqallāhu fī ar-ḥāmihinna ing kunna yu`minna billāhi wal-yaumil-ākhir, wa bu'ụlatuhunna aḥaqqu biraddihinna fī żālika in arādū iṣlāḥā, wa lahunna miṡlullażī 'alaihinna bil-ma'rụfi wa lir-rijāli 'alaihinna darajah, wallāhu 'azīzun ḥakīm

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

« Al-Baqarah 227Al-Baqarah 229 »

Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!

Hikmah Menarik Berkaitan Surat Al-Baqarah Ayat 228

Paragraf di atas merupakan Surat Al-Baqarah Ayat 228 dengan text arab, latin dan terjemah artinya. Ada sekumpulan hikmah menarik dari ayat ini. Ada sekumpulan penjabaran dari kalangan ahli tafsir terhadap makna surat Al-Baqarah ayat 228, misalnya seperti terlampir:

📚 Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia

Dan wanita-wanita merdeka yang telah diceraikan yang masih dalam masa subur, maka mereka wajib menunggu sebelum menikah pasca perceraian selama 3 kali suci atau 3 kali haid untuk memenuhi masa iddah. tujuannya, agar mereka dapat memastikan kosongnya rahim mereka dari mengandung janin. Dan tidak boleh bagi mereka untuk menikahi lelaki lain dalam masa iddah ini, sampai selesai masanya. dan tidak boleh bagi mereka untuk menyembunyikan apa yang Allah ciptakan di dalam rahim rahim mereka, berupa adanya kandungan janin atau terjadinya haid, apabila wanita-wanita yang diceraikan itu wanita-wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir dengan sebenarnya. Dan suami-suami wanita-wanita yang diceraikan itu lebih berhak merujuk mereka dalam masa iddah. dan sepatutnya rujuk itu diniatkan untuk memperbaiki keadaan dan menggapai kebaikan, bukan diniatkan untuk mencelakai(waniata) demi menyiksanya dengan bertambahnya masa iddah. Dan bagi istri-istri ada hak-hak yang menjadi kewajiban suami suami untuk memenuhinya, seperti yang menjadi kewajiban istri istri dengan cara-cara yang ma'ruf. Dan bagi suami suami ada kedudukan yang lebih tinggi dihadapan istri-istri, berupa mendampingi dengan baik, mempergauli dengan ma'ruf, dan memimpin urusan rumah tangga, dan memilki hak talaq. Dan Allah maha perkasa, Ia memiliki sifat keperkasaan yang mengalahkan semua, Maha bijaksana, meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang tepat.


📚 Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an Univ Islam Madinah

228. Masa Iddah -masa menunggu tanpa boleh menikah dengan lelaki lain- bagi wanita yang telah dicerai istrinya adalah tiga kali masa haid atau tiga kali masa suci sesuai dengan maslahat yang ingin dicapai oleh kedua belah pihak, dengan mengambil waktu yang lebih pendek atau Panjang.

Allah mengharamkan wanita-wanita yang dicerai untuk menyembunyikan apa yang Allah ciptakan dalam rahim mereka berupa kehamilan atau keadaan haid, maka hendaklah mereka mentaati Allah jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir.


Syeikh as-Syinqithi berkata, secara zahir firman Allah {والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء} menunjukkan hukum dalam ayat ini meliputi semua wanita yang dicerai, namun Allah menjelaskan dalam ayat lain bahwa sebagian wanita yang dicerai tidak termasuk di dalamnya, seperti wanita yang hamil yang disebutkan bahwa iddahnya adalah sampai dia melahirkan, Allah berfirman:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (at-talaq:4).

Begitu pula dengan wanita yang dicerai sebelum digauli, dia tidak memiliki masa iddah. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (al-ahzab: 49).


Dan suami lebih berhak untuk rujuk dengan istrinya dalam masa iddah jika dia menginginkan perdamaian dan kebaikan. Dan para istri memiliki hak yang sama untuk mendapat perlakuan yang baik dari suaminya, sebagaimana suami memiliki hak tersebut atas istri, dan suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada istri, yaitu sebagai kepala rumah tangga, karena dia telah memberi nafkah dan berkewajiban untuk pergi berjihad. Sungguh Allah Maha Perkasa dalam kekuasaan-Nya dan Maha Bijaksana dalam pengaturan-Nya.

Dalam ayat ini Allah tidak menjelaskan maksud dari kedudukan yang lebih tinggi bagi suami, namun Dia menjelaskannya dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (an-nisa: 34).

Dan Allah menjelaskan kekurangan wanita dan kelemahan tabiatnya dalam firman-Nya:
“Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.” (az-zukhruf: 18).

Dan firman Allah: “dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (an-nisa: 34) menunjukkan bahwa kesempurnaan dalam sifat, kekuatan, dan perawakan layak untuk menjadi pemimpin atas orang yang lebih lemah dan kurang dalam perawakannya.


📚 Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam Masjidil Haram

228. Wanita-wanita yang diceraikan suaminya harus menahan diri mereka selama tiga kali haid. Mereka tidak boleh menikah (dengan laki-laki lain) selama jangka waktu itu. Mereka juga tidak boleh menyembunyikan kehamilan yang Allah ciptakan di dalam rahim mereka, jika mereka sungguh-sungguh dalam beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan (mantan) suami yang menceraikan mereka lebih berhak untuk merujuk mereka dalam masa idah, jika rujuk tersebut dimaksudkan untuk membangun kerukunan dan menghilangkan masalah yang terjadi akibat perceraian. Para istri memiliki hak dan kewajiban seperti halnya para suami memiliki hak atas istri-istrinya menurut kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Namun para suami memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada istri, seperti kepemimpinan dalam rumah tangga dan urusan perceraian. Dan Allah Maha Perkasa, tidak ada sesuatupun yang dapat mengalahkan-Nya, lagi Maha Bijaksana dalam menetapkan syariat-Nya dan mengatur urusan makhluk-Nya.


Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!

📚 Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah

228. وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ (Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri)
Yakni menunggu.

ثَلٰثَةَ قُرُوٓءٍ (tiga kali quru’)
Dan ini adalah yang disebut dengan masa iddah talak, yakni masa setara dengan tiga kali haidh.

وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّـهُ فِىٓ أَرْحَامِهِنَّ (Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya)
Yakni berupa haidh atau kehamilan.

إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْءَاخِرِ ۚ (jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat)
Terdapat ancaman keras bagi wanita yang menyembunyikan apa yang ada dalam rahimnya sehingga siapa yang menyembunyikan di antara mereka maka ia tidak berhak untuk mendapatkan julukan sebagai orang yang beriman.

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ (Dan suami-suaminya berhak merujukinya)
Yakni suami-suami mereka lebih berhak untuk rujuk kembali kepada istri-istri mereka.

فِى ذٰلِكَ (dalam masa menanti itu)
Yakni masa iddah, namun apabila masa iddah telah selesai sedang suami-suami mereka tidak merujuk mereka maka istri-istri tersebut lebih berhak atas diri mereka.

إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلٰحًا (jika mereka (para suami) menghendaki ishlah)
Yakni dengan melakukan rujuk, namun apabila itu dimaksudkan untuk memberi kerugian terhadap sang istri maka perbuatan itu diharamkan.

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِى عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ (Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf)
Yakni sang suami menggauli istri dengan pergaulan yang baik, dan begitu pula dengan sang istri.

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ . (Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya)
Yakni derajat yang tidak dimiliki sang istri, berupa pemberian nafkah, dan termasuk sebagai ahli jihad, pengaturan, dan kekuatan.
Sehingga wajib bagi sang istri untuk mentaati perintah dan memenuhi permintaan sang suami dalam urusan-urusan rumah tangga, kekeluargaan dan dirinya yang tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah.
Dan dalam ayat ini terdapat dalil bahwa seorang wanita itu dipercaya apabila mengabarkan bahwa masa iddahnya telah selesai apabila waktu yang telah berlalu memungkinkan.


📚 Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah

228. Dan masa iddah wanita-wanita yang ditalak yaitu menunggu untuk menikah dengan orang lain itu selama 3 kali haid, atau 3 kali bersuci. Dan diharamkan bagi mereka untuk menyembunyikan kehamilan atau haid dalam rahim mereka karena ingin cepat-cepat mengakhiri masa iddah mereka, dan mencegah suaminya untuk rujuk, jika mereka benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Dalam hal itu terdapat ancaman yang amat dahsyat bagi orang-orang yang menyembunyikan kehamilan dan haidnya. Dan suami-suami mereka itu lebih berhak untuk kembali menikah dengannya dalam masa iddah itu, jika mereka ingin memperbaiki hubungan dengan rujuk. dan bagi istri-istri itu mempunyai hak yang sama dengan kewajiban mereka atas suami mereka. (Rujuk) secara baik sesuai syariat, berupa pergaulan yang baik dan menghindari tindakan yang menyakiti dari dua belah pihak. Dan laki-laki itu memiliki derajat lebih atas wanita, yaitu maqam yang lebih, yaitu derajat tanggung jawab yang mana dia bertanggung jawab untuk menafkahi mereka, dan laki-laki itu lebih kuat dan cerdas, maka laki-laki memiliki tanggung jawab untuk menghidupi. Dan Allah itu Naha Kuat dalam kerahaanNya sehingga tidak ada yang bisa menaklukkan dan melawannya serta Maha Bijaksana dalam mengatur ciptaanNya. Asma’ binti Yazid berkata: “Pada masa Rasulullah SAW aku ditalak dan belum ada masa iddah bagi wanita yang ditalak, lalu Allah menentukan masa iddah untuk perkara talah yaitu ayat wal muthallaqaatu”


📚 Tafsir Ash-Shaghir / Fayiz bin Sayyaf As-Sariih, dimuraja’ah oleh Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-‘Awaji, professor tafsir Univ Islam Madinah

Para istri yang diceraikan itu menahan} menunggu {diri mereka tiga kali qurū’} tiga kali haid {Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Suami-suami mereka} suami-suami mereka {lebih berhak untuk kembali kepada mereka} lebih berhak untuk kembali kepada mereka {dalam (masa) itu} dalam masa penantian itu {jika mereka menghendaki perbaikan. Dan bagi para istri itu juga hak yang serupa} dan bagi para istri itu juga hak serupa yang dimiliki suami atas mereka {dengan cara yang patut. Akan tetapi, para suami mempunyai derajat lebih atas mereka. Allah itu Maha perkasa lagi Maha bijaksana


Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!

📚 Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H

228. Maksudnya, wanita-wanita yang ditalak oleh suami-suami mereka, “hendaklah menahan diri (menunggu),” artinya hendaklah mereka menunggu dan menjalani iddah selama “tiga kali quru’,” yaitu haid atau suci menurut perbedaan pendapat para ulama tentang maksud dari quru’ tersebut, dan yang benar bahwa quru’ itu adalah haid.
Iddah ini memiliki beberapa hikmah, diantaranya adalah mengetahui kosongnya rahim, yaitu apabila telah berulang-ulang 3 kali haid padanya, maka tidak diketahui bahwa dalam lahirnya tidak terjadi kehamilan hingga tidak akan membawa kepada tercampurnya nasab. Karena itu Allah mewajibkan atas mereka untuk memberitahu tentang “apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,” dan Allah mengharamkan bagi mereka menyembunyikan hal itu, baik kehamilan maupun haid, karena menyembunyikan hal itu akan menyebabkan kemaharatan yang sangat banyak.
Menyembunyikan kehamilan berkonsekuensi diNasabkannya janin kepada orang yang bukan haknya, yang boleh jadi tidak menginginkannya, atau demi mempercepat habisnya masa iddah. Apabila diikutkan (dinasabkan) kepada selain bapaknya, niscaya tali rahimnya terputus dari keluarga, juga warisan, dan mahram mahram dan karib kerabatnya terhalang darinya, dan bisa saja suatu saat dia menikah salah seorang dari mahromnya dan dinasabkan kepada selain ayahnya dan tetapnya hal-hal yang mengikutinya seperti warisan darinya atau untuknya. Dan orang yang menjadikan seorang yang dinisbatkan kepadanya itu sebagai karib kerabatnya, dimana dalam hal itu terjadi keburukan dan kerusakan yang tidak diketahui kecuali oleh rabb manusia. Semua madharat itu akan terjadi kalau ia tinggal bersama laki-laki yang menikahinya secara batil, dimana dalam hal itu juga ada perbuatan dosa besar secara terus-menerus yaitu zina, maka itu saja cukup sebagai suatu keburukan.
Adapun menyembunyikan haid, apabila yang mempercepat (waktu sucinya) lalu ia mengabarkannya, padahal ia dusta, maka itu tindakan menghilangkan hak suami darinya dan halalnya dirinya untuk selain suaminya dan segala hal yang disebabkan olehnya dari keburukan sebagaimana yang telah kami sebutkan. Dan jika ia berdusta dan mengabarkan bahwa ia tidak haid untuk menambah panjang masa iddahnya untuk dapat mengambil nafkah dari suami nya yang tidak wajib atasnya, akan tetapi dia hanya ingin terus mendapatkannya, maka nafkah itu haram dari dua sisi; bahwa nafkah yang diambilnya itu bukan haknya, dan menisbatkan hal itu menjadi bagian hukum syariat padahal ia berdusta, dan kemungkinan saja suaminya rujuk kembali setelah habis masa iddahnya hingga hal itu menjadi sebuah tindakan perzinaan, karena kondisinya telah menjadi wanita asing (ajnabiyah) baginya. Karena itu Allah berfirman, “tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir.”
Terjadinya tindakan menyembunyikan (haid dan kehamilan) dari mereka adalah sebuah dalil atas tidak adanya iman mereka kepada Allah dan hari akhir, dan bila tidak atau sekiranya mereka beriman kepada Allah dan hari akhir dan mereka mengetahui bahwa mereka pasti diberikan balasan dari amalan-amalan mereka, niscaya tidak akan terjadi pada mereka sesuatupun dari hal itu. Ayat ini juga dalil atas diterimanya informasi dari seorang wanita tentang kabar yang mereka informasikan tentang diri mereka dari perkara yang tidak diketahui oleh selain mereka seperti kehamilan, haid, dan lain sebagainya.
Kemudian Allah berfirman, “Dan Suami suaminya lebih berhak menunjukinya dalam masa menanti itu,” artinya, untuk suami-suami mereka selama mereka masih menunggu masa iddah agar suami mereka mengembalikan mereka kepada pernikahan (awal), “jika mereka (para suami) menghendaki ishlah,” yaitu keinginan, kelembutan, dan cinta kasih.
Makna ayat ini adalah bahwasanya bila mereka tidak menginginkan perbaikan, maka mereka tidaklah berhak kembali kepada pernikahan dengan istri mereka, sehingga tidaklah halal bagi mereka kembali kepada istri-istri mereka dengan maksud menimbulkan mudarat bagi mereka dan memperpanjang lagi masa iddahnya. Apakah suami memiliki hak dengan maksud yang seperti itu? Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa ia memiliki hak tetapi hukumnya haram. Yang shahih adalah apabila ia tidak menghendaki perbaikan, maka ia tidak memiliki hak sebagaimana zahir redaksi ayat tersebut. Ini adalah hikmah lain dari masa menunggu tersebut, yaitu bahwa mungkin saja suami menyesal berpisah dengan hingga masa “iddah” ini dijadikan waktu untuk berpikir matang dan memutuskan ketetapannya. Ini menunjukkan kepada kecintaan Allah kepada adanya kasih sayang diantara kedua suami istri dan kebencianNya terhadap perpisahan sebagaimana nabi bersabda,
“Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak.”
Ini adalah khusus pada talak 1 dan 2 (talak Raj’i), adapun talak ketiga, maka seorang suami tidak berhak untuk kembali kepada istrinya yang telah ditalak, namun bila mereka berdua sepakat untuk kembali bersama, maka harus melakukan akad yang baru yang terpenuhi syarat-syaratnya.
Kemudian Allah berfirman, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang Ma’ruf .” Maksudnya, para wanita memiliki hak yang wajib atas suami-suami mereka sebagaimana para suami memiliki hak yang wajib maupun yang sunnah atas mereka, dan patokan bagi hak-hak di antara suami-istri adalah pada yang Ma’ruf yaitu menurut adat yang berlaku pada negeri tersebut dan pada masa itu dari wanita yang setara untuk laki-laki yang setara, dan hal itu berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat, kondisi, orang dan kebiasaan. Disini terdapat dalil bahwa nafkah, pakaian, pergaulan, dan tempat tinggal, demikian juga berjima, semua itu kembali kepada yang Ma’ruf, dan ini juga merupakan konsekuensi dari akad yang mutlak, adapun bila dengan syarat, maka menurut syarat tersebut kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
“Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan lebih daripada istrinya,” artinya, ketinggian, kepemimpinan, dan hak yang lebih atas dirinya, sebagaimana Allah berfirman: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka."QS an-nisa ayat 34
Kedudukan kenabian, kehakiman, imam masjid (shalat), maupun kekhalifahan, serta segala kekuasaan adalah khusus bagi laki-laki, dan juga mempunyai hak dua kali lipat dari hak kaum wanita dalam banyak perkara seperti warisan dan semacamnya.
“Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.” Maksudnya, Allah memiliki kekuasaan yang kuat dan kekuasaan yang agung, di mana segala sesuatu tunduk kepadaNya. Akan tetapi bersama keperkasaanNya Allah juga bijaksana dalam segala tindakanNya.
Dan tidak termasuk dalam keumuman ayat ini adalah wanita wanita hamil, karena iddah mereka adalah melahirkan bayinya, dan wanita-wanita yang belum dicampuri suaminya, mereka tidak memiliki iddah, juga hamba sahaya, karena iddah mereka adalah 2 haid sebagaimana perkataan sahabat, sedangkan konteks ayat menunjukkan bahwa yang dimaksud disana adalah wanita yang merdeka.


📚 Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas) / Fathul Karim Mukhtashar Tafsir al-Qur'an al-'Adzhim, karya Syaikh Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin, professor fakultas al-Qur'an Univ Islam Madinah

Ini adalah ketetapan dari Allah bagi para wanita yang ditalak yang masuk dalam masa iddah, agar mereka harus menahan diri mereka selama tiga kali quru', yaitu, mereka harus tinggal setelah dia diceraikan oleh suaminya selama tiga kali quru', kemudian jika mau, dia dapat menikah lagi. Para empat imam madzhab sepakat dalam perkara umum in terkai seorang wanita yang diceraikan, yaitu masa itu menahan mereka selama dua quru’, karena sebagiannya setengah dari seorang wanita merdeka, dan masa iddahnya itu tidak dipisah-pisah sehingga sempurna baginya dua quru’.
Demikianlah yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab. Mereka berkata bahwa para sahabat berselisih pendapat tentang hal ini. Sebagian dari ulama’ salaf berkata bahwa masa iddah ini sama seperti masa iddah seorang wanita merdeka karena keumuman dari ayat ini, karena ini adalah hukum yang mengikat semua, sehingga wanita yang merdeka dan budak dalam ini sama, hanya Allah yang lebih mengetahui. Pendapat ini disampaikan oleh Syaikh Abu Umar bin Abdul Bar, dari Muhammad bin Sirin, dan beberapa ulama melemahkannya.
Para ulama’ salaf, ulama’ masa klini, dan para imam madzhab berbeda pendapat tentang makna “al-aqra'”. Ada dua pendapat:
Pendapat pertama: bahwa dimaksud dengan “al-aqra'” adalah orang-orang yang sudah suci.
Az-Zuhri mengatakan: “Saya menyampaikan hal ini kepada Amrah binti Abdurrahman, dan dia berkata: "Urwah membenarkannya” namun orang-orang berdebat tentang hal ini. Mereka berkata: “Sesungguhnya Allah SWT berfirman dalam kitabNya: (tiga kali quru). Aisyah berkata: “Kalian benar. Apakah kalian tahu apa itu “al-aqra'”? Yang dimaksud dengan “al-aqra'” adalah orang-orang yang suci. "
Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab: “Aku mendengar Abu Bakar bin Abdurrahman berkata, “Aku tidak pernah menjumpai seorang pun dari kalangan ulama fiqh kami kecuali dia mengatakan hal itu, yaitu perkataan Aisyah.
Imam Malik meriwayatkan dari Nafi' dari Abdullah bin Umar, bahwa dia mengatakan: “Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dan kemudian istrinya memasuki masa suci dari tiga haid, maka dia telah berpisah dari suaminya dan dia suci dari dia. Imam Malik mengatakan: “Inilah pendapat kami.” Pendapat yang serupa diriwayatkan dari Ibn Abbas, Zaid bin Tsabit, Salim, Al-Qasim, Urwah, Sulaiman bin Yasar, Abu Bakar bin Abdurrahman, Aban bin Utsman, ‘Atha bin Abu Rabah, Qatadah, Az-Zuhri, dan ulama fiqh lainnya yang jumlahnya tujuh. Ini adalah pendapat mazhab Maliki, Syafi'i, dan beberapa ulama lainnya termasuk Dawud dan Abu Tsaur. Ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad. Mereka menggunakan dalil dengan firman Allah: (maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya' (Surah Ath-Thalaq: 1) yaitu dalam keadaan mereka suci. Masa suci yang digunakan untuk menghitung talak adalah salah satu dari tiga quru’ yang ditetapkan bagi mereka. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa wanita yang menunggu masa iddah itu menyelesaikan masa iddahnya dan menerangkan bagi suamninya bahwa iddahnya telah berakhir dalam masa suci yang ketiga. Sedangkan dalam beberapa waktu yang lebih singkat, yaitu dua puluh sembilan atau tiga puluh hari, wanita menyelesaikan iddahnya. Abu Ubaid dan yang lainnya memberikan hujjah tentang ini berdasarkan puisi Al-A'sya:
Dalam setiap tahun, kamu adalah pemberani dalam pertempuran, kamu menuju ke puncaknya dengan tekad yang teguh.
Mewarisi kemuliaan, dan dalam hidup ada keagungan, ketika hilang di dalamnya, dari masa iddah wanitamu
Dia memberi pujian kepada seorang pemimpin di antara pemimpin-pemimpin Arab yang mengutamakan perang, sehingga terlewati masa-masa suci dari istri-istrinya, yang tidak dia datangi.
Pendapat kedua: Yang dimaksud dengan “al-aqra'” adalah haid, sehingga masa iddah tidak akan berakhir sampai dia suci dari haidnya yang ketiga. Beberapa ulama menambahkan bahwa dalam masa tersebut, wanita harus mandi besar dari haid. Jangka waktu paling sedikit yang diperlukan bagi seorang wanita untuk menyelesaikan iddahnya adalah tiga puluh tiga hari atau lebih.
Ats-Tsauri meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim, dari ‘Alqamah, dia berkata: “Kami bersama Umar bin Khattab, lalu datang kepadanya seorang wanita. Dia berkata, “Suamiku telah menceraikanku dengan satu atau dua kali talak. Kemudian dia datang kepadaku, dan sungguh aku telah melepaskan pakaianku, dan menutup pintuku. Umar berkata kepada Abdullah bin Mas'ud, “Aku melihatnya sebagai istrinya pada masa dia tidak boleh shalat (masa iddahnya)” Abdullah bin Mas'ud menjawab, “Saya juga melihatnya seperti itu” Hal ini juga diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar, Utsman, Ali, Abu Darda', Ubadah bin Ash-Shamit, Anas bin Malik, Ibnu Mas'ud, Mu'adz, Ubay bin Ka'b, Abu Musa Al-Asy'ari, Ibnu Abbas, Sa'id bin Al-Musayyib, ‘Alqamah, Al-Aswad, Ibrahim, Mujahid, ‘Atha', Thawus, Sa'id bin Jubair, ‘Ikrimah, Muhammad bin Sirin, Qatadah, Asy-Sya’bi, Ar-Rabi’, Muqatil bin Hayyan, As-Suddi, Mak'hul, Adh-Dhahhak, dan ‘Atha’ Al-Khurasani. Mereka berpendapat bahwa “al-aqra'” adalah haid. Ini juga merupakan pendapat madzhab Abu Hanifah dan para pengikutnya, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat dari dua riwayat yang dinyatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Al-Atsram meriwayatkan darinya, dia berkata, “Para sahabat besar Rasulullah SAW mengatakan: “Al-aqra'” adalah haid. Ini juga adalah pendapat Ats-Tsauri, Al-Awza’i, Ibnu Abu Laila, Ibnu Syubramah, Al-Hasan bin Shalih bin Huyay, Abu 'Ubaid, Ishaq bin Rahawaih. Hal ini dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa’i dari Al-Mundzir bin Al-Mughirah dari ‘Urwah bin Az-Zubair dari Fathimah binti Abu Hubaisy bahwa Rasulullah SAW “Tinggalkanlah shalat pada hari-hari haidmu”. Maka jika hal ini benar maka telah jelas bahwa quru’ adalah haid. Akan tetapi yang perlu diperhatikan dari hal ini bahwa Abu Hatim berpendapat tentang hal ini bahwa sesuatu yang tidak diketahui itu bukan pendapat yang masyhur. Hal ini disampaikan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqah
Ibnu Jarir : Asal dari kata “Al-Qur’u” dalam bahasa Arab adalah waktu kedatangan sesuatu yang dapat dihitung kedatangannya pada waktu yang sudah diketahui, dan juga pengunduran sesuatu yang dapat dihitung kemundurannya pada waktu yang sudah diketahui.
Ungkapan ini menunjukkan bahwa “Al-Qur’u” dapat berarti waktu ini dan itu. Ini adalah pendapat sebagian ulama’ ushul fiqh. Hanya Allah yang lebih mengetahui.
Ibnu 'Ashma’i mengatakan bahwa “Al-Qur’u” adalah waktu.
Abu 'Amr bin Al-'Ala’ berkata: Orang Arab menyebut haid dengan istilah “Al-Qur’u”, mereka juga menyebut kesucian setelah haid dengan istilah “Al-Qur’u”, dan mereka menyebut haid dan bersuci darinya dengan “Al-Qur’u”.
Syaikh Abu 'Umar bin Abdul Barr berkata: “Para ulama bahasa Arab dan ahli fiqh tidak berbeda pendapat mengenai maksud “Al-Qur’u” yang merujuk pada haid atau kesucian. Akan tetapi berbeda berpendapat tentang maksud dari “Al-Qur’u” dalam ayat ini. Dan itu ada dua pendapat
Firman Allah: (Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya) baik itu mengenai tali pusar atau haid. Ini dijelaskan oleh Ibnu 'Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, Asy-Sya'bi, Al-Hakam bin'Utaibah, Ar-Rabi’ Anas, Adh-Dhahhak, dan lainnya.
Firman Allah: (jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat) sebagai ancaman kepada mereka yang berlaku menyimpang dari kebenaran. Hal ini menunjukkan bahwa perkara ini merujuk kepada mereka, karena ini adalah perkara yang hanya diketahui oleh mereka. Seringkali, hal ini sulit untuk dijelaskan. Jadi perkara ini dikembalikan kepada mereka agar mereka tidak memberitahukan selain kebenaran, baik itu dipercepat untuk mengakhiri masa iddah atau memperpanjangnya demi tujuan tertentu. Oleh karena itu, mereka diperintahkan untuk memberitahukan kebenaran tanpa ada tambahan atau pengurangan.
Firman Allah: (Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah) yaitu bahwa suami yang telah menceraikan istri memiliki hak yang lebih utama untuk kembali dengan istrinya selama masa 'iddah. Ini berlaku jika niatnya adalah untuk memperbaiki hubungan dan memberikan kebaikan. Ini hanya berlaku untuk talak yang bisa rujuk. Adapun bagi wanita yang telah telah ditalak ba’in, maka situasi ini tidak berlaku. Kondisi tersebut tidak boleh untuk talak yang ketiga. Adapun konteks turunnya ayat ini adalah bahwa suami lebih berhak untuk rujuk dengan istrinya, meskipun dia telah menceraikannya seratus kali. Lalu mereka dibatasi setelah turnnya ayat-ayat yang menjelaskan tentang talak tiga, sehingga hal itu menjadi thalaq ba’in, Jika memperhatikan hal ini bahwa jelas bagi anda terkait kelemahan pendekatan beberapa ulama’ ushul fiqh berupa pembuktian mereka terkait kata yang dirujuk oleh kata ganti dalam ayat ini. apakah itu spesifik untuk kata yang telah disebutkan sebelumnya yang berupa kata umum atau tidak. Adapun perumpamaan atas hal itu tidak sesuai dengan apa yang telah mereka sebutkan, dan hanya Allah yang lebih mengetahui.
Firman Allah (Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf) yaitu bahwa mereka memiliki hak yang sama dengan hak para laki-laki atas mereka. Maka masing-masing harus menunaikan apa yang wajib baginya satu sama lain dengan baik sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits shahih Muslim dari Jabir bahwa Rasulullah SAW berkata dalam khutbah saat Haji Wada': “Bertakwalah kepada' Allah dalam memperlakukan wanita. Sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah bahwa mereka tidak boleh memasukkan seorang pun yang kalian benci ke dalam rumah kalian. Jika mereka melakukan itu, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menciderai. Dan mereka berhak mendapatkan nafkah dan pakaian dengan cara yang ma'ruf (baik).”. Begitu juga dalam hadits Bahz bin Hakim dari Mu'awiyah bin Hadah Al-Qusyairi dari ayahnya, dari kakeknya bahwa dia bertanya, “Wahai Rasulullah, apa hak istri seseorang dari kita?” Beliau bersabda, “Bahwa kamu memberinya makan ketika kamu makan, memberinya pakaian ketika kamu memakai pakaian, tidak memukul wajahnya, tidak mengolok-oloknya, dan tidak meninggalkan dia, kecuali di rumah.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Sesungguhnya aku senang mempercantik penampilan untuk istri sebagaimana aku senang dia mempercantik diri untukku, karena Allah SWT berfirman (Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf)
Firman Allah: (Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya) yaitu keutamaan dalam hal penciptaan, akhlak, kedudukan, ketaatan dalam perintah, pengeluaran harta, menjaga kepentingan, serta keutamaan dalam urusan dunia dan akhirat, sebagaimana Allah berfirman: (Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka) (Surah An-Nisa: 34).
Firman Allah: (Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana) yakni Maha Perkasa dalam menghukum orang yang durhaka dan melanggar perintahNya, serta Maha Bijaksana dalam mengatur perintah, syariat, dan takdirNya"


📚 Aisarut Tafasir / Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi

Makna kata:
{ ٱلۡمُطَلَّقَٰتُ } Al-Muthallaqât: Bentuk jamak dari muthallaqah yaitu wanita yang diperlakukan dengan buruk oleh suaminya kemudian diceraikan oleh suaminya atau oleh hakim.
{ يَتَرَبَّصۡنَ } Yatarabbashna: Menunggu
{ قُرُوٓءٖۚ } Quruu’ : Al-Qar’u memiliki dua pengertian, yaitu waktu suci atau waktu haidh.
{ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِيٓ أَرۡحَامِهِنَّ } Mâ khalaqallahu fî Arhamihinna: Apa yang Allah ciptakan berupa janin, maka tidak halal bagi wanita yang diceraikan untuk menyembunyikannya.
{ وَبُعُولَتُهُنَّ } Wa bu’ulatuhunna: Suami-suami mereka. Bu’ulah memiliki bentuk tunggal ba’lun seperti kata fahlun atau nakhlun.
{ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ } Biroddihinna fi dzalika: Yaitu berhak untuk kembali kepada istri pada waktu menunggu (iddah).
{ وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ } Walahunna mitsluladziy ‘alaihinna: Istri memiliki kewajiban yang harus ditunaikan kepada suaminya, begitu juga wanita memiliki hak yang harus ditunaikan oleh suaminya.
{ وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٞۗ } Walirrijaali ‘alaihinna darajat: Yaitu derajat kepemimipinan bahwa secara syariat lelaki menjadi pemimpin bagi wanita.

Makna ayat:
Bersamaan dengan penyebutan thalaq bagi suami yang melakukan Ila’ dan tetap tidak mau untuk membatalkan sumpahnya, maka Allah Ta’ala menyebutkan pada ayat ini tentang wanita-wanita yang diceraikan sampai akhir ayat. Bagi wanita yang diceraikan oleh suaminya dan sedang haidh, tidak boleh menerima pinangan dari lelaki lain selama tiga kali masa quru’. Apabila masa tunggunya telah selesai dan suaminya tidak rujuk kepadanya, maka boleh baginya untuk menikah dengan lelaki lain. Masa tunggu ini dinamakan dengan ‘iddah yang mana hukumnya wajib bagi perempuan sebagai hak suaminya. Karena suami memiliki hak untuk rujuk kepadanya dalam masa ‘iddah tersebut, sesuai dengan makna firman Allah Ta’ala;
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنۡ أَرَادُوٓاْ إِصۡلَٰحٗاۚ
“Dan suami-suaminya berhak merujuk kepadanya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki perbaikan (ishlah).”
Bagi wanita tidak boleh menyembunyikan haidhnya dengan mengatakan,”aku baru satu kali haidh atau dua kali haidh” padahal kenyataanya sudah tiga kali haidh agar ia bisa kembai rujuk dengan suaminya. Tidak boleh juga mengatakan,”aku sudah tiga kali haidh” dengan tujuan agar suami tidak bisa merujuknya lagi, dan tidak boleh baginya untuk menyembunyikan kehamilan sehingga ketika ia menikah dengan lelaki lain maka anak itu dinisbahkan kepada suami yang baru, padahal itu bukan anak suaminya yang baru. Ini merupakan dosa besar. Oleh karena itu Allah Ta’ala mengatakan bagi mereka tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan oleh Allah dalam rahimnya. Maksudnya menyembunyikan haidh dan kehamilan jika mereka benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.
Firman Allah Ta’ala (وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ ) “Dan suami-suaminya berhak merujuk kepadanya dalam masa menanti itu”. Maknanya adalah suami lebih berhak (untuk rujuk, pent) dibandingkan istrinya yang diceraikan selama dalam masa ‘iddahnya dan dengan syarat bahwa keinginan rujuk tersebut tidak memberikan mudharat untuk istrinya, bahkan seharusnya tujuan rujuk itu adalah untuk melakukan perbaikan dan bergaul dengan baik antara keduanya, inilah lahiriah firman Allah Ta’ala “jika mereka (para suami) itu menghendaki perbaikan (ishlah).” Bagi istri yang diceraikan agar meniatkan dengan rujuknya kepada suaminya untuk mengadakan perbaikan juga.
Kemudian Allah Ta’ala mengabarkan bahwa bagi istri ada hak-hak yang harus dipenuhi oleh suaminya, seperti itu juga bagi suami ada hak yang harus ditunaikan oleh istrinya. Allah Ta’ala berfirman,”Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”. Kemudian Allah mengabarkan bahwa lelaki memiliki derajat ketinggian di atas wanita, dimana erajat ini tidak diperoleh dan tidak dimiliki oleh perepuan, yaitu kepemimpinan yang dipahami dari firman Allah Ta’ala dalam surat An-Nisa’,”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS An-Nisa: 34)
Dan ayat ini diakhiri dengan kalimat Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, yang menunjukkan kewajiban melaksanakan ajaran-ajaran ini demi kemuliaan dan kebijaksanaan Allah Ta’ala. Karena yang menang itu wajib untuk ditaatik dan yang Maha Bijaksana wajib untuk tunduk kepada Nya dalam syariat Nya, karena syariat tersebut yang terbaik dan bermanfaat serta tidak memberikan mudharat.

Pelajaran dari ayat:
• Penjelasan tentang masa ‘iddah bagi wanita yang diceraikan suaminya apabila memiliki waktu haidh maka sejumlah tiga kali masa haidh atau suci.
• Haramnya menyembunyikan masa haidh atau kehamilan bagi wanita yang diceraikan atas apa yang Allah ciptakan dalam rahimnya, untuk tujuan apapun.
• Lebihnya hak seorang lelaki untuk merujuk istrinya yang telah diceraikannya apabila belum selesai masa ‘iddahnya. Bahkan dikatakan wanita yang dicerai masih dalam masa ‘iddah itu tetap dikatakan sebagai istri dengan dalil bahwa jika meninggal maka suami masih mendapatkan waris darinya, dan apabila suami yang meninggal maka wanita tersebut menerima waris dari suaminya. Oleh karena itu tidak diperbolehkan baginya untuk menerima pinangan dan menikah dengan lelaki lain selama masih dalam masa ‘iddahnya.
• Penetapan hak-hak dua pihak yaitu suami dan istri dari yang lainnya.


Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!

📚 An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi

Surat Al-Baqarah ayat 228: Allah memerintahkan cara mutlak bahwasannya lihatlah olehmu tiga masa haid setelah mentalaknya jika tidak haid maka tunggu sanoai 3 bulan dan ini adalah masa iddah wanita.


📚 Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I

Yakni yang masih mengalami haidh dan sudah dicampuri (karena wanita yang belum sempat dicampuri tidak menjalani masa 'iddah). Adapun wanita yang sudah monopause (berhenti haidh) dan wanita kecil yang belum mengalami haidh, maka 'iddahnya adalah tiga bulan. Sedangkan wanita yang hamil, 'iddahnya sampai melahhirkan sebagaimana diterangkan dalam surat Ath Thalaq. Adapun budak wanita, maka 'iddahnya adalah dua kali quru' sebagaimana dikatakan para sahabat.

Dengan tidak menikah.

Quru' dapat diartikan suci atau haidh, namun yang rajih menurut sebagian ulama, bahwa maksud quru' di sini adalah haidh. Tujuan menunggu tiga kali quru' adalah agar rahim dapat dipastikan benar-benar kosong, dengan begitu tidak terjadi percampuran nasab. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala mewajibkan wanita untuk memberitahukan keadaan rahimnya, apakah hamil ataukah haidh. Di antara hikmah lainnya menunggu (biasa disebut 'iddah) adalah untuk memberikan kesempatan kepada suami yang mungkin menyesali perbuatannya mentalak istrinya.

Adanya syari'at iddah menunjukkan kecintaan Allah terhadap kerukunan antara suami-istri dan dibenci-Nya talak meeskipun halal.

Berupa kehamilan atau haidh. Menyembunyikan kehamilan dalam rahimnya dapat menimbulkan banyak mafsadat (kerusakan), di antaranya: bisa mengakibatkan penisbatan anak kepada yang bukan bapaknya sehingga silaturrahim terputus, kekacauan dalam hal warisan, mahram dan kerabatnya menjadi berhijab terhadap anak tersebut, bahkan bisa sampai menikahi mahramnya dan mafsadat lainnya yang begitu banyak yang tidak diketahui selain oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Kalau pun mafsadatnya hanya dianggap batal menikah dengan anak yang lahir itu, di mana dalam perbuatan tersebut terdapat dosa besar, yaitu zina, itu pun sudah cukup.

Adapun menyembunyikan haidh atau memberitakan secara dusta, di dalamnya juga terdapat banyak mafsadat, di antaranya menghilangkan hak suami untuk merujuknya dan membolehkan kepada laki-laki lain menikahinya. Jika si wanita memberitakan belum nampak haidh mengakibatkan 'iddahnya lama padahal seharusnya sudah selesai, oleh karena itu nafkah yang didapat dari suaminya adalah suht (harta haram) karena sudah selesai haidhnya, dan jika si wanita dirujuk oleh suaminya padahal sudah selesai masa 'iddahnya -hanya karena si wanita berdusta-, maka menjadi zina. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala melarang dengan tegas wanita menyembunyikan keadaan rahimnya jika mereka memang betul-betul beriman kepada Allah dan hari akhir.

Dalam ayat ini terdapat dalil diterimanya berita wanita tentang keadaan dirinya, yakni dalam masalah yang tidak diketahui oleh orang lain selain dirinya, seperti haidh, hamil dsb.

Yakni hendaknya rujuk itu niatnya islah atau menginginkan kebaikan, dan tidak bermaksud memadharatkan. Lalu bagaimana jika suami merujuk istrinya dengan maksud memadharatkan? Dalam hal ini ada dua pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa suami tetap memiliki hak rujuk, namun menurut Syaikh As Sa'diy bahwa suami tidak memilikinya jika berniat memadharatkan sebagaimana ditunjukkan oleh zhahir ayat.

Wanita memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya. Hak-hak antara suami dan istri kembali kepada uruf atau adat yang berlaku pada daerah setempat, dan hal ini berbeda-beda tergantung waktu, tempat, keadaan, orang dan adat kebiasaan.

Misalnya wajibnya taat bagi istri kepada suami. Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga sekaligus yang menafkahinya (Lihat surat An Nisaa' ayat 34). Ayat ini menunjukkan bahwa laki-laki berada di atas wanita dan haknya berada di atas hak wanita. Oleh karena itu, kenabian, jabatan hakim, kepemimpinan baik dalam lingkup kecil maupun besar hanya dipegang laki-laki.


📚 Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI / Surat Al-Baqarah Ayat 228

Setelah menjelaskan masalah perempuan yang ditalak suaminya, berikut ini Allah menjelaskan idah mereka. Dan para istri yang diceraikan bila sudah pernah dicampuri, belum menopause, dan tidak sedang hamil, wajib menahan diri mereka menunggu selama tiga kali quru, yaitu tiga kali suci atau tiga kali haid. Tenggang waktu ini bertujuan selain untuk membuktikan kosong-tidaknya rahim dari janin, juga untuk memberi kesempatan kepada suami menimbang kembali keputusannya. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, baik berupa janin, haid, maupun suci yang dialaminya selama masa idah. Ketentuan di atas akan mereka laksanakan dengan baik jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka berhak menjatuhkan pilihannya untuk kembali kepada istri mereka dalam masa idah itu, jika mereka menghendaki perbaikan hubungan suami-istri yang sedang mengalami keretakan tersebut. Dan mereka, para perempuan, mempunyai hak seimbang yang mereka peroleh dari suaminya dengan kewajibannya yang harus mereka tunaikan menurut cara yang patut sesuai tugas dan tanggung jawab masing-masing. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. 3 yaitu derajat kepemimpinan karena tanggung jawab terhadap keluarganya. Allah mahaperkasa atas orang-orang yang mendurhakai aturan-aturan yang telah ditetapkan, mahabijaksana dalam menetapkan aturan dan syariat-Nyatalak yang memungkinkan suami untuk merujuk istrinya itu dua kali. Setelah talak itu jatuh, suami dapat menahan untuk merujuk istrinya dengan baik atau melepaskan dengan menjatuhkan talak yang ketiga kalinya dengan baik tanpa boleh kembali lagi sesudahnya. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka seperti maskawin, hadiah, atau pemberian lainnya, kecuali keduanya khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah karena tidak ada kecocokan. Jika kamu, para wali, khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah dalam berumah tangga, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang harus diberikan oleh istri berupa maskawin yang pernah ia terima dari suaminya sebagai pengganti untuk menebus dirinya. 4 itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggar ketetapan Allah berupa perintah dan larangannya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan maka mereka itulah orang-orang zalim yang menganiaya diri sendiri. Talak yang masih memungkinkan suami untuk merujuk istrinya hanya dua kali, dan disebut talak raj'i. Suami tidak boleh meminta kembali pemberian yang sudah diberikan kepada istrinya bila telah bercerai. Suami bahkan dianjurkan menambah lagi pemberiannya sebagai mutah untuk menjamin hidup istrinya itu di masa depan. 3


Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!

Itulah sekumpulan penjabaran dari para pakar tafsir mengenai makna dan arti surat Al-Baqarah ayat 228 (arab-latin dan artinya), moga-moga membawa faidah untuk kita semua. Dukung kemajuan kami dengan mencantumkan link ke halaman ini atau ke halaman depan TafsirWeb.com.

Bacaan Paling Banyak Dikaji

Kami memiliki banyak konten yang paling banyak dikaji, seperti surat/ayat: Luqman 13, Al-Baqarah 285-286, ‘Abasa, Al-Lail, Al-Hujurat 10, Dua (2) Terakhir al-Baqarah. Ada pula At-Taubah 40, Al-Ma’idah 32, Maryam, Al-Fatihah 6, Yasin 9, An-Naas.

  1. Luqman 13
  2. Al-Baqarah 285-286
  3. ‘Abasa
  4. Al-Lail
  5. Al-Hujurat 10
  6. Dua (2) Terakhir al-Baqarah
  7. At-Taubah 40
  8. Al-Ma’idah 32
  9. Maryam
  10. Al-Fatihah 6
  11. Yasin 9
  12. An-Naas

Pencarian: surat an nahl ayat 18, al jatsiyah ayat 12, wama min dabbatin, alqodr, surat as syifa

Bantu Kami

Setiap bulan TafsirWeb melayani 1.000.000+ kunjungan kaum muslimin yang ingin membaca al-Quran dan tafsirnya secara gratis. Tentu semuanya membutuhkan biaya tersendiri.

Tolong bantu kami meneruskan layanan ini dengan membeli buku digital Jalan Rezeki Berlimpah yang ditulis oleh team TafsirWeb (format PDF, 100 halaman).

Dapatkan panduan dari al-Qur'an dan as-sunnah untuk meraih rezeki berkah berlimpah, dapatkan pahala membantu keberlangsungan kami, Insya Allah.