Surat Al-Baqarah Ayat 241

وَلِلْمُطَلَّقَٰتِ مَتَٰعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ

Arab-Latin: Wa lil-muṭallaqāti matā'um bil-ma'rụf, ḥaqqan 'alal-muttaqīn

Artinya: Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.

« Al-Baqarah 240Al-Baqarah 242 »

Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!

Kandungan Menarik Tentang Surat Al-Baqarah Ayat 241

Paragraf di atas merupakan Surat Al-Baqarah Ayat 241 dengan text arab, latin dan terjemah artinya. Ada aneka ragam kandungan menarik dari ayat ini. Terdokumentasi aneka ragam penjelasan dari para mufassirun berkaitan isi surat Al-Baqarah ayat 241, di antaranya sebagaimana berikut:

📚 Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia

Dan bagi wanita-wanita yang diceraikan berhak akan mut'ah (pemberian) berupa sandang dan pangan yang diberikan dengan cara yang ma’ruf lagi baik menurut syariah, itu merupakan kewajiban atas orang-orang yang takut kepada Allah dan bertakwa kepada Nya dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Nya.


📚 Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an Univ Islam Madinah

241. Dan istri yang ditalak -secara umum baik itu yang ditalak setelah berjima’ dengan suaminya maupun yang belum- berhak mendapat mut’ah berupa pakaian dan nafkah yang baik sesuai dengan kemampuan suami. Mut’ah ini wajib atas setiap orang bertakwa yang takut kepada Allah.


📚 Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam Masjidil Haram

241. Wanita-wanita yang ditalak berhak mendapatkan pemberian berupa pakaian, harta (uang) dan lain-lain secara wajar sesuai kondisi suami, baik sedikit ataupun banyak untuk mengobati perasaannya yang hancur karena perceraian. Ketentuan hukum ini merupakan keharusan bagi orang yang bertakwa kepada Allah -Ta'ālā- dengan cara menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.


Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!

📚 Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah

241. وَلِلْمُطَلَّقٰتِ مَتٰعٌۢ (Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah)
Terdapat pendapat mengatakan mut’ah (pemberian/hadiah) hukumnya wajib untuk setiap yang ditalak.
Dan pendapat lain mengatakan ayat ini mencakup mut’ah yang wajib yaitu untuk wanita yang ditalak sebelum dipergauli oleh suaminya dan sebelum ditentukan maharnya, adapun mut’ah yang tidak wajib yaitu untuk wanita yang ditalak yang selain sebelumnya maka hukumnya sunnah.
Ibnu Umar berkata: mut’ah itu diperuntukkan bagi setiap wanita yang dicerai kecuali yang diceraikan sebelum dipergauli maka cukup baginya separuh mahar sebagai mut’ahnya.


📚 Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah

241. Umumnya bagi wanita-wanita yang ditalak baik yang sudah digauli atau yang belum digauli itu mut’ah wajib atau mut’ah yang disenangi. Dikatakan bahwa maksudnya adalah nafkah pada masa iddah, sesuai kemampuan suami sebagai hak yang ditetapkan atas orang-orang yang bertakwa.Ibnu Zaid berkata: “Ketika ayat {Wamatti’uuhunna ..} turun seorang laki-laki berkata “Jika aku berbaik hati, maka aku akan melakukannya, dan jika aku tidak menghendaki itu, maka aku tidak akan melakukannya” lalu Allah menurunkan ayat {Wa lil muthallaqaati mataa’ ..}”


📚 Tafsir Ash-Shaghir / Fayiz bin Sayyaf As-Sariih, dimuraja’ah oleh Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-‘Awaji, professor tafsir Univ Islam Madinah

Bagi istri-istri yang diceraikan itu terdapat hak mut‘ah dengan cara yang patut. Itu adalah ketentuan bagi orang-orang yang bertakwa


Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!

📚 Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H

241-242. Setelah Allah menjelaskan pada ayat sebelumnya tentang pemberian yang harus diberikan kepada seorang wanita yang ditinggal mati suaminya, Allah menyebutkan dalam ayat ini bahwa setiap wanita yang diceraikan oleh suaminya harus diberikan pemberian tersebut yang disesuaikan dengan kondisi suaminya dan kondisi wanita tersebut, dan bahwa hal itu adalah hak yang hanya ditunaikan oleh orang-orang yang bertakwa. Itu adalah diantara sifat dan karakter taqwa yang wajib atau yang sunnah. Apabila seorang wanita belum ditetapkan maharnya dan belum digauli lalu diceraikan oleh suaminya, maka telah lewat hukumnya, yaitu wajib atau suaminya pemberian itu sesuai dengan kelapangan maupun kesulitannya, dan apabila telah ditetapkan maharnya, maka pemberian untuknya adalah setengah dari mahar tersebut. Dan apabila telah dicampuri, maka pemberian itu menurut kebanyakan para ulama adalah sunnah saja, namun ada beberapa ulama yang mewajibkannya dengan dasar FirmanNya, “sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” Dan pada dasarnya hak itu adalah wajib, terlebih bila disandarkan kepada orang-orang yang bertakwa dan pada dasarnya ketakwaan itu adalah wajib. Ketika Allah menjelaskan hukum-hukum yang mulia ini di antara suami istri, Allah memuji hukum-hukumNya tersebut, penjelasanNya tentang hukum-hukum tersebut dan peneranganNya terhadapnya, kesesuaiannya dengan akal yang sehat dan bahwasanya maksud dari penjelasan tentang hal itu bagi hamba-hambaNya adalah agar mereka memahami apa yang dijelaskan olehNya sehingga mereka mengerti tentangnya dengan hafalan, pemahaman, dan pengamalannya, karena itu adalah diantara kesempurnaan pemahaman terhadapnya.


📚 Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas) / Fathul Karim Mukhtashar Tafsir al-Qur'an al-'Adzhim, karya Syaikh Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin, professor fakultas al-Qur'an Univ Islam Madinah

Ayat 240-242
Mayoritas ulama’ berpendapat: Ayat ini telah dinasakh oleh ayat sebelumnya, yaitu firman Allah: (menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari) (Surah Al-Baqarah: 234). Ibnu Zubair berkata, “Aku berkata kepada Utsman bin Affan bahwa ayat (Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri) telah dinasakh oleh ayat lain. Maka janganlah kamu menulis atau meninggalkannya?” Utsman menjawab, “Wahai keponakanku, aku tidak akan mengubah apapun dari posisinya”
Makna keraguan yang diutarakan oleh Ibnu Zubair kepada Utsman adalah, “Jika hukumnya telah dinasakh dengan empat bulan, maka apa hikmahnya mempertahankan teksnya setelah hilangnya hukum tersebut? atau mempertahankannya setelah ada ayat yang menasakhnya , sementara adanya hal itu seperti menunjukkan bahwa hukumnya masih berlaku? Lalu Amīrul Mu’minīn (Utsman) menjawab bahwa ini adalah perkara yang berhubungan dengan tempat, dan aku mendapatinya tetap ada di dalam mushaf seperti itu setelahnya, maka aku mempertahankannya sebagaimana aku mendapatinya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Dahulu, jika seorang suami meninggal dan meninggalkan istrinya, maka masa iddahnya adalah selama setahun di dalam rumahnya, dan dibiayai dari harta suaminya. Kemudian Allah menurunkan ayat: (Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari) (Surah Al-Baqarah: 234). Ini adalah masa iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, kecuali jika dia hamil, maka masa iddahnya sampai dia melahirkan kandungannya. Allah berfirman: (Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan) [Surah An-Nisa': 12]. Ini menjelaskan tentang harta waris wanita, wasiat dan nafkah.
Diriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan, 'Ikrimah, Qatadah, Adh-Dhahhak, Ar-Rabi', dan Muqatil bin Hayyan, mereka mengatakan: “Ayat ini dinasakh dengan ayat (empat bulan sepuluh hari) Dia berkata,”Diriwayatkan dari Sa'id bin Al-Musayyib, dia berkata: “Ayat ini dinasakh oleh ayat di dalam surah Al-Ahzab: (Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman) [Surah Al-Ahzab: 49].
Saya berkata,”Diriwayatkan dari Mujahid dan Qatadah bahwa ayat ini telah dinasakh dengan ayat tentang warisan.
‘Atha’ berkata: “Ibnu Abbas berkata: “Ayat ini dinasakh, di mana masa iddahnya ada pada keluarganya, sehingga dia berhak mengatur masa iddahnya. Ini adalah firman Allah SWT: (Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri)) ‘Atha’ berkata: “Jika dia menghendaki untuk melakukan masa iddahnya di sisi keluarganya dan tinggal dengan wasiatnya, dan Jika dia menghendaki, dia bisa keluar, berdasarkan firman Allah: (maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka) ‘Atha’ berkata,”Kemudian datang ayat tentang warisan. Lalu perkara tentang menetap dinasakh sehingga dia bisa mengatur masa iddahnya sesuai kehendaknya, dan tidak perlu tinggal. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yang ditegaskan oleh Mujahid dan ‘Atha’ bahwa ayat ini tidak menunjukkan kewajiban untuk melakukan iddah selama satu tahun sebagaimana pendapat mayoritas ulama’, sampai hal itu dinasakh denganempat bulan sepuluh hari. Ayat ini hanya menunjukkan bahwa hal itu termasuk wasiat kepada istri-istri agar mereka bisa tinggal di rumah suaminya setelah kematiannya selama satu tahun penuh jika mereka memilih itu. Oleh karena itu Allah berfirman: (hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya) artinya Allah memerintahkan kalian untuk memberi wasiat kepada mereka sebagaimana firmanNya: (Allah mensyari'atkan bagimu untuk berwasiat kepada anak-anakmu) [Surah An-Nisa: 11] dan (wasiat yang benar-benar dari Allah) [Surah An-Nisa: 12]. Dikatakan bahwa wasiat itu dibaca nashab sehingga menjadi (Fal tawashau bihin washiyyatan) ”Maka berwasiatlah kepada mereka,” dan beberapa orang membaca dengan rafa’ menjadi (Kutiba ‘alaikum washiyyatun) “Diwajibkan atas kalian wasiat” dan ini adalah yan dipilih oleh Ibnu Jarir. Dan tidak ada yang mencegah mereka dari hal itu karena firmanNya: (dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)) Apabila masa iddah mereka telah berakhir setelah empat bulan sepuluh hari, atau setelah melahirkan kandungan, dan mereka memilih untuk keluar dan pindah dari rumah tersebut, maka tidak ada yang mencegah mereka untuk melakukan hal tersebut, sesuai firman Allah (dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka) Dan terdapat suatu pandangan tentang pendapat itu, dalam artian kata adalah membantu tindakan itu. Pendapat ini dipilih oleh sebagian ulama’, di antaranya adalah Imam Abu Al-Abbas bin Taymiyyah, sementara yang lain menolaknya, di antaranya adalah Syaikh Abu Umar bin Abdul Barr
Pendapat ‘Atha’ dan orang yang mengikutinya, bahwa ayat ini telah dinasakh dengan ayat tentang warisan. Jika mereka menginginkan masa tambahan setelah empat bulan sepuluh hari, maka itu boleh. Namun, jika mereka menginginkan tetap tinggal selama empat bulan sepuluh hari, maka hal ini tidak menjadi kewajiban untuk meninggalkan orang yang mati. Ini adalah titik perbedaan di antara para imam. Ada dua pendapat menurut Imam Syafi'i. Mereka telah memberikan argumentasi terkait kewajiban untuk tinggal di rumah suami, berdasarkan riwayat Malik dalam kitab Muwatta’nya, dari Sa'd bin Ishaq bin Ka'b bin Ujrah, dari bibinya Zainab binti Ka'b bin Ujrah, yang menceritakan bahwa Furai’ah binti Malik bin Sinan, yang merupakan saudari Abu Sa’id Al-Khudzri, dia mengabarkan kepadanya bahwa dia datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta kembali ke keluarganya pada Bani Khudzrah. Suaminya telah keluar mencari budaknya yang kabur hingga ke ujung Qudum, dia mendapatkannya yang akhirnya mereka membunuhnya, sehingga dia tidak mendapatkan nafkah. Lalu Rasulullah SAW bersabda “Iya” Dia berkata,”Lalu aku berangkat pulang sehingga ketika aku berada di kamar, Rasulullah SAW memanggilku atau memerintahku dan aku menjawab panggilan itu. Beliau bertanya, “Apa yang kau katakan?” Lalu aku menjawabnya dengan menceritakan kisah yang telah kuceritakan terkait kisah suamiku sebelumnya. Beliau bersabda, “Tinggallah di rumahmu sampai waktunya usai“ Dia berkata, “Aku menjalani masa iddah di situ selama empat bulan sepuluh hari.” Dia berkata,”Ketika Utsman bin Affan mengirim pesan kepadaku dan menanyakan tentang hal ini, aku memberitahunya, maka dia mengikuti dan memutuskan seperti itu.
Firman Allah: (Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa (241)) Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata ketika firman Allah: (yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan) [Surah Al-Baqarah: 236] turun. Ada seorang laki-laki berkata: “Jika aku ingin memperlakukan(mu) dengan baik, maka aku telah melakukannya. Dan jika aku tidak ingin melakukannya, maka aku tidak akan melakukannya.” Lalu Allah menurunkan ayat ini: (Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa (241))
Ayat ini digunakan sebagai dalil oleh sebagian ulama bahwa setiap wanita yang dicerai harus diberi mut’ah, baik dengan dirundingkan, diwajibkan, atau wanita yang dicerikan tanpa pernah disentuh atau dalam sudah pernah berhubungan intim. Ini adalah pendapat Imam Syafi'i, yang diikut oleh Sa'id bin Jubair dan sejumlah ulama’ salaf, serta dipilih oleh Ibnu Jarir. Namun, bagi yang berpendapat bahwa wanita yang dicerai tidak wajib diberi mut’ah secara mutlak, mereka membatasi makna umum dari ayat ini dengan firman Allah, (Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.) [Surah Al-Baqarah: 236]. Kalangan yang memilih pendapat pertama menjawab bahwa ayat ini adalah pembahasan tentang penyebutan sebagian dari sesuatu yang umum, dan tidak mengkhususkan sesuatu yang sudah masyhur. Hanya Allah yang lebih Mengetahui
Firman Allah: (Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayatNya) yaitu dalam menghalalkan, mengharamkan, mewajibkan, dan memberi batasan, dalam apa yang Dia perintah dan larang kepada kalian, Dia menjelaskan dan menerangkan dengan jelas, dan Dia tidak meninggalkannya dalam keadaan samar ketika kalian membutuhkannya, (supaya kamu memahaminya) yaitu, agar kalian dapat memahami dan merenunginya


📚 Aisarut Tafasir / Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi

Makna kata:
{ مَتَٰعُۢ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ } Matâ’an bil ma’ruf: Yaitu memberikan sesuatu (mut’ah) secara tidak berlebihan atau mengurangi.
{ حَقًّا } Haqqan: Wajib bagi suami yang bertakwa apabila menceraikan istrinya.


Makna ayat:
nilah makna firman Allah pada ayat 240. Apabila wanita yang menjalani masa ‘iddah itu telah selesai dari ‘iddahnya, maka ia boleh berdandan dan bersiap untuk menerima pinangan untuk menikah lagi. Kemudian Allah Ta’ala yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana menutup ayat ini dengan petunjuk bahwa wasiat ini merupakan hal yang wajib untuk dilaksanakan.
Pada ayat kedua (241) “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang takwa.” Berisi penjelasan tentang hukum yang lain yaitu bahwa wanita yang diceraikan dan telah digauli oleh suaminya berhak mendapatkan harta yang diberikan oleh suami yang menceraikannya, baik berupa pakaian, kendaraan atau pembantu. Sedangkan untuk wanita yang diceraikan sebelum digauli dan sebelum ditetapkan maharnya maka baginya harta mut’ah yang wajib diterimanya karena itu yang ia miliki, adapun wanita yang diceraikan sebelum digauli dan tetah ditetapkan maharnya maka ia mendapatkan setengah mahar, tidak ada yang lain. Bagi wanita yang diceraikan setelah digauli dan inilah yang dimaksud dalam ayat ini, baginya mendapatkan harta mut’ah dengan cara ma’ruf, baik menurut pendapat yang mewajibkannya atau menganggapnya sunnah karena ia telah mendapatkan maharnya secara sempurna.


Pelajaran dari ayat:
• Hak bagi wanita yang diceraikan dan sudah digauli adalah mendapatkan mut’ah (harta) dengan cara yang ma’ruf.
• Anugerah dari Allah terhadap umat ini dengan menjelaskan hukum-hukumNya agar mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, maka bagi Nya pujian dan syukur.


Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!

📚 An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi

Surat Al-Baqarah ayat 241: Ketahuilah bahwasannya hak mutlak atas suami adalah bersenang-senang dengan harta atau pakaian dan semisalnya sesuai kadar.


📚 Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I

Mut'ah (pemberian) ialah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istri yang diceraikannya sebagai penghibur, selain nafkah sesuai dengan kemampuannya. Mut'ah ini wajib diberikan kepada wanita yang ditalak sebelum dicampuri. Ada pula yang berpendapat bahwa mut'ah wajib diberikan kepada semua wanita yang ditalak berdasarkan keumuman ayat ini. Namun karena ada ka'idah "Hamlul mutlak 'alal muqayyad" (membawa yang mutlak kepada yang muqayyad), di mana pada ayat sebelumnya sudah diterangkan lebih rinci bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala mewajibkan mut'ah kepada wanita yang ditalak sebelum ditentukan mahar dan sebelum dicampuri saja, maka inilah yang dipakai.

Sesuai kemampuan.


📚 Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI / Surat Al-Baqarah Ayat 241

Ayat ini menjelaskan hukum pemberian mut'ah bagi perempuan yang dicerai. Dan bagi perempuan-perempuan yang diceraikan, baik talak tiga (bain) maupun talak satu dan dua tetapi tidak dirujuk, sementara ia sudah dicampuri, maka hendaklah diberi mut'ah yakni pemberian suami di luar nafkah kepada istri yang ditalak tersebut menurut cara yang patut, yakni besar dan kecilnya pemberian itu disesuaikan dengan kemampuan suami, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang bertakwa, yakni mereka yang melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya agar kamu mengerti. Penutup ayat ini seakan memberi jawaban atas pertanyaan apakah ada ketentuan agama menyangkut pemberian, selain harta waris' jawabannya, ada, yaitu memberikan sesuatu sebagai penghibur bagi perempuan yang dicerai karena istri yang dicerai hidup keadaannya seperti ditinggal mati.


Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!

Itulah bermacam penafsiran dari banyak ulama terhadap isi dan arti surat Al-Baqarah ayat 241 (arab-latin dan artinya), semoga membawa faidah bagi kita. Bantu dakwah kami dengan memberikan tautan ke halaman ini atau ke halaman depan TafsirWeb.com.

Konten Cukup Banyak Dicari

Kaji ratusan materi yang cukup banyak dicari, seperti surat/ayat: Maryam, Al-Baqarah 285-286, ‘Abasa, An-Naas, Al-Lail, Luqman 13. Ada juga Al-Fatihah 6, Al-Ma’idah 32, At-Taubah 40, Dua (2) Terakhir al-Baqarah, Al-Hujurat 10, Yasin 9.

  1. Maryam
  2. Al-Baqarah 285-286
  3. ‘Abasa
  4. An-Naas
  5. Al-Lail
  6. Luqman 13
  7. Al-Fatihah 6
  8. Al-Ma’idah 32
  9. At-Taubah 40
  10. Dua (2) Terakhir al-Baqarah
  11. Al-Hujurat 10
  12. Yasin 9

Pencarian: dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi ini dengan, almuzammil, surah al mu minun, surah al hadid 57 ayat 22 menjelaskan bahwa, sodikin artinya

Bantu Kami

Setiap bulan TafsirWeb melayani 1.000.000+ kunjungan kaum muslimin yang ingin membaca al-Quran dan tafsirnya secara gratis. Tentu semuanya membutuhkan biaya tersendiri.

Tolong bantu kami meneruskan layanan ini dengan membeli buku digital Jalan Rezeki Berlimpah yang ditulis oleh team TafsirWeb (format PDF, 100 halaman).

Dapatkan panduan dari al-Qur'an dan as-sunnah untuk meraih rezeki berkah berlimpah, dapatkan pahala membantu keberlangsungan kami, Insya Allah.