Surat Al-Baqarah Ayat 239

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا ۖ فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا۟ تَعْلَمُونَ

Arab-Latin: Fa in khiftum fa rijālan au rukbānā, fa iżā amintum fażkurullāha kamā 'allamakum mā lam takụnụ ta'lamụn

Artinya: Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.

« Al-Baqarah 238Al-Baqarah 240 »

Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!

Kandungan Menarik Berkaitan Surat Al-Baqarah Ayat 239

Paragraf di atas merupakan Surat Al-Baqarah Ayat 239 dengan text arab, latin dan terjemah artinya. Ada beragam kandungan menarik dari ayat ini. Ditemukan beragam penjelasan dari banyak mufassir berkaitan isi surat Al-Baqarah ayat 239, antara lain seperti berikut:

📚 Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia

Lalu apabila kalian khawatir terhadap musuh kalian, maka kerjakanlah shalat khauf dengan berjalan, atau berkendaraan atau dengan cara bagaimanapun yang kalian sanggupi walaupun dengan sekedar berisyarat dan walaupun menghadap ke arah selain kiblat. Kemudian apabila rasa takut kalian telah sirna, maka laksanakanlah shalat sebagaimana kalian mengerjakannya dalam aman. Dan ingatlah Allah di dalamnya. Dan janganlah kalian menguranginya dari tata cara yang baku. Dan bersyukurlah kepada Allah atas hal-hal yang Allah ajarkan kepada kalian berupa ilmu tentang perkara-perkara ibadah dan hukum-hukum yang kalian tidak punya pengetahuan tentang itu sebelumnya.


📚 Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an Univ Islam Madinah

239. Jika kalian takut dari musuh, maka shalatlah shalat khauf, yaitu dengan berjalan kaki atau berkendara dengan menghadap kiblat atau tidak. Dan apabila ketakutan kalian telah pergi maka shalatlah sebagaimana biasa. Dan berzikirlah kepada Allah dalam shalat sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian syariat-syariat yang sebelumnya tidak kalian ketahui.

Abdullah bin Umar jika ditanya tentang tata cara shalat khauf ia menjawab: “Imam harus maju dengan beberapa orang untuk shalat satu rakaat, dan antara orang-orang yang shalat ini ada sekelompok pasukan yang belum shalat yang menjaga mereka dari musuh. Apabila kelompok pertama telah menyelesaikan satu rakaat, maka mereka mengambil posisi pasukan yang belum shalat tanpa mengakhiri shalat mereka. Sedangkan pasukan yang belum shalat mengambil posisi pasukan yang telah shalat satu rakaat. Kemudian imam menyelesaikan shalatnya -imam telah shalat dua rakaat, satu rakaat dengan pasukan pertama dan satu rakaat dengan pasukan kedua-. Kemudian semua pasukan berdiri melanjutkan shalat mereka sendiri-sendiri satu rakaat setelah imam selesai shalat. Dengan begitu semua pasukan telah melaksanakan dua rakaat.

Dan jika peperangan lebih genting, maka dibolehkan untuk shalat dalam keadaan berjalan, berdiri, atau berkendara, baik itu dengan menghadap kiblat maupun tidak.


Nafi’ berkata: “Menurutku Abdullah bin Umat tidak menyebutkan tata cara ini melainkan karena ia mendengarnya dari Rasulullah”. (Shahih Bukhari 8/199, no. 4553, kitab tafsir, bab surat al-baqarah).


📚 Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam Masjidil Haram

239. Apabila kalian takut kepada musuh dan sebagainya, lalu kalian tidak dapat menunaikan salat secara sempurna, maka salatlah sambil berjalan kaki atau menunggang unta, kuda dan sebagainya, atau dengan cara apapun yang bisa kalian lakukan. Apabila ketakutan itu sudah hilang, maka berzikirlah kepada Allah sebagaimana Dia mengajarkannya kepada kalian. Salah satunya ialah berzikir kepada Allah di dalam salat secara lengkap dan sempurna. Dan ingatlah juga bagaimana Allah mengajarkan kepada kalian tentang cahaya dan petunjuk yang belum kalian ketahui.


Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!

📚 Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah

239. فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا ۖ (Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan)
Yakni dalam keadaan takut yang sangat maka boleh bagi kalian untuk mengerjakan shalat diatas kendaraan kalian atau dengan berjalan sambil menghadap ke kiblat atau tidak menghadapnya, dengan gerakan, perpindahan, pukulan, maupun lari maju mundur.

فَإِذَآ أَمِنتُمْ (Kemudian apabila kamu telah aman)
Yakni apabila ketakutan kalian telah hilang maka kembalilah kepada apa yang diperintahkan kepada kalian berupa menyempurnakan shalat dengan segala syarat dan rukunnya.

فَاذْكُرُوا۟ اللَّـهَ كَمَا عَلَّمَكُم (maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu)
Yakni mengajarkan syari’at-syariatnya yang belum kalian ketahui.


📚 Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah

239. Ini adalah shalat dalam keadaan takut. Dan jika kalian takut dengan musuh atau hewan buas misalnya, maka shalatlah dalam keadaan berjalan atau dengan berkendara, baik menghadap kiblat atau tidak menghadap kiblat, dengan bergerak ataupun tidak. Dan ketika ketakutan itu telah lenyap, maka shalatlah sesuai shalatnya orang dalam keadaan aman. Dengan menghadap kiblat dan berdiri. Dan shalat itu dengan mengucapkan dzikir, yaitu tahmid, tasbih, tasyahud dan membaca bacaan Al-Qur’an karena semua itu adalah rukun shalat. Dan ingatlah Allah sebagaimana Dia telah mengajarkan tata cara, rukun, dan syarat ibadah yang disyariatkan yang belum kalian ketahui sebelumnya


📚 Tafsir Ash-Shaghir / Fayiz bin Sayyaf As-Sariih, dimuraja’ah oleh Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-‘Awaji, professor tafsir Univ Islam Madinah

Dengan taat dan khusyu’ {Jika kalian berada dalam keadaan takut, maka dengan berjalan kaki} maka shalatlah dalam keadaan berjalan kaki {atau berkendaraan} atau berkendara di atas punggung hewan kalian {Lalu apabila kalian telah aman} telah hilang ketakutan kalian {ingatlah Allah sebagaimana Dia telah mengajarkan kepada kalian apa yang tidak kalian ketahui


Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!

📚 Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H

239. Dan FirmanNya, “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya).” Yang ditakuti tidak disebutkan agar ketakutan tersebut adalah rasa takut dari perkara yang tidak umum seperti dari musuh, binatang buas, dan kehilangan sesuatu hal yang dikhawatirkan oleh manusia. Maka shalatlah kalian “sambil berjalan,” berjalan diatas kaki kalian, “atau berkendaraan” di atas kuda, atau unta atau segala macam kendaraan. Dan dalam kondisi seperti ini tidaklah harus menghadap kiblat. Inilah sifat salat orang-orang yang berhalangan karena ketakutan, lalu apabila telah berada pada kondisi yang aman, maka ia harus shalat dengan sempurna, dan termasuk dalam FirmanNya, “kemudian apabila kamu telah aman maka sebutlah Allah (sholatlah)” dengan menyempurnakan shalat, dan termasuk didalamnya juga dalam memperbanyak dzikir kepada Allah sebagai rasa syukur kepadaNya atas nikmat keamanan dan nikmat pendidikan yang merupakan kebahagiaan seorang hamba.
Ayat ini juga menunjukkan keutamaan ilmu dan bahwa orang yang diberikan ilmu oleh Allah tentang perkara yang sebelumnya dia tidak diketahui, maka wajib atasnya memperbanyak dzikir kepadaNya. Dan ayat ini juga merupakan tanda bahwa memperbanyak dzikir kepadaNya menjadi faktor penyebab diberikannya ilmu-ilmu yang lain, karena kesyukuran itu selalu diiringi dengan penambahan nikmat.


📚 Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas) / Fathul Karim Mukhtashar Tafsir al-Qur'an al-'Adzhim, karya Syaikh Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin, professor fakultas al-Qur'an Univ Islam Madinah

238-239
Allah memerintahkan untuk menjaga shalat pada waktunya, memelihara batas-batasnya, dan melaksanakannya sesuai dengan waktunya. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits shahih Bukhari Muslim dari Ibnu Mas'ud, dia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW: “Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya.” Aku bertanya lagi: “Kemudian apa?” Beliau menjawab: “Berjihad di jalan Allah.” Aku bertanya lagi: “Kemudian apa?” Beliau menjawab: “Berbuat baik kepada orang tua.” Dia berkata: “Rasulallah SAW memberitahukan hal-hal itu kepadaku dan jika aku meminta tambahan pertanyaan lagi, maka beliau akan menambahkannya.”
Dikatakan bahwa yang dimaksud adalah shalat Zhuhur.
Dikatakan bahwa yang dimaksud adalah shalat Ashar. At-Tirmidzi dan Al-Baghawi mengatakan bahwa ini adalah pandangan sebagian besar sahabat dan ulama.
Al-Qadhi Al-Mawardi mengatakan: “Ini adalah pandangan mayoritas Tabi'in.”
Al-Hafizh Abu 'Umar bin 'Abdul Barr mengatakan: “Ini adalah pandangan sebagian besar ahli hadits.”
Abu Muhammad ibn 'Athiyah dalam tafsirnya mengatakan: “Ini adalah pandangan mayoritas orang.”
Al-Hafiz Abu Muhammad 'Abdul Mu'min bin Khalaf Ad-Dimyati dalam kitabnya yang berjudul "Kashful Mughatta fi Tabyiini Ash-Shalah Al-Wustha" yang dijelaskan di dalamnya bahwa itu adalah shalat Ashar. Ini dinyatakan oleh Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Abu Ayyub, Abdullah bin Amr, Samurah bin Jundab, Abu Hurairah, Abu Sa'id, Hafshah, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Aisyah dalam hadis shahih yang diriwayatkan dari mereka. Pendapat ini juga diungkapkan oleh Ubaidah, Ibrahim An-Nakha'i, Razin, Zirr bin Hubaisy, Sa'id bin Jubair, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Qatadah, Adh-Dhahhak, Al-Kalbi, Muqatil, Ubaid bin Maryam dan yang lainnya. Ini merupakan pandangan dari madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Al-Qadhi Al-Mawardi dan Asy-Syafi'i mengatakan ini. Ibnu Mundzir berkata dan ini adalah pendapat yang shahih dari Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad. Ibnu Habib Al-Maliki memilih pendapat ini.
Dalil atas hal tersebut:
Diriwayatkan dari Zirr, dia berkata: “Aku berkata kepada Ubaidah: “Tanyakanlah kepada Ali tentang shalat wustha. Lalu dia bertanya kepadanya, dan Ali menjawab: “Kami biasa melihatnya pada waktu fajar atau waktu pagi sehingga aku mendengar Rasulullah SAW bersabda pada hari perang Ahzab: “Mereka menghalangi kita dari shalat wustha, yaitu shalat Ashar. Semoga Allah memenuhi kuburan dan rongga-rongga mereka atau rumah-rumah mereka dengan api neraka.” Hal itu diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Bundar, dari Ibnu Mahdi. serta hadits tentang hari perang Ahzab, bahwa orang-orang musyrik menghalangi Rasulullah SAW dan para sahabatnya dari melaksanakan shalat Ashar pada hari itu. Diriwayatkan oleh banyak sahabat, meskipun penjelasan mereka panjang lebar, namun yang dimaksudkan dari riwayat dari mereka dalam penjelasannya adalah bahwa shalat wustha adalah shalat Ashar. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Ibnu Mas'ud dan Al-Bara' bin 'Azib.
Pendapat lain yang bertentangan dengan pendapat bahwa shalat Ashar dikaitkan dengan shalat wustha adalah bahwa huruf “wawu” yang menghendaki makna berbeda, sehingga hal ini menunjukkan bahwa shalat wustha itu adalah shalat lainnya. Jawaban atas hal ini adalah bahwa jika hal ini diriwayatkan sebagai khabar, maka hadits Ali lebih lebih shahih dan lebih tegas. Hal ini juga mungkin menunjukkan bahwa “wawu” tersebut adalah “wawu zaidah” sebagaimana dalam firmanNya: (Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa (55)) [Surah Al-An'am], dan (Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin (75)) [Surah Al-An'am] atau “wawu” tersebut digunakan untuk menghubungkan antar sifat bukan untuk menghubungkan kata aslinya, seperti dalam firmanNya: (tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi) [Surah Al-Ahzab], dan (Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tingi (1) yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya) (2) dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk (3) dan yang menumbuhkan rumput-rumputan (4)) [Surah Al-A'la]. Dan banyak lagi contoh semacam itu, seorang penyair berkata:
Kepada sang raja yang murah hati, kepada putra Al-Hamam, dan kepada singa pasukan dalam keramaian.
Dikatakan: "Shalat wustha adalah shalat Maghrib"
Dikatakan: "Itu adalah shalat Isya’ terakhir.”
Dikatakan: “Shalat wustha adalah mencakup shalat lima waktu.”
Semua pendapat tersebut memiliki kelemahan dibandingkan dengan pendapat yang sebelumnya. Namun, pokok perdebatan dan perselisihan ini adalah pada waktu Fajr dan Ashar. Telah di sebutkan dalam sunnah bahwa yang dimaksud adalah shalat Ashar, maka hal itu dikembalikan lagi ke shalat Ashar.
Firman Allah SWT: (Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'), yaitu: khusyu’, tunduk, dan patuh di hadapanNya. Perintah ini menuntut untuk tidak berbicara dalam shalat karena bertentangan dengan esensi shalat. Oleh karena itu, ketika Nabi SAW dilarang menjawab Ibnu Mas'ud saat memberi salam kepada beliau sedangkan beliau dalam keadaan shalat. Kemudian beliau memberi alasan kepadanya terkait hal itu dengan bersabda: “Di dalam shalat itu sedang sibuk”. Dalam hadits shahih Muslim, disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda kepada Muawiyah bin Al-Hakam As-Sulaimi ketika dia berbicara dalam shalat: “Sesungguhnya shalat ini tidak layak ada sesuatu kata-kata orang pun didalamnya, shalat hanyalah tasbih, takbir dan mengingat Allah”
Firman Allah: (Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (239)). Ketika Allah SWT memerintahkan hamba-hambaNya untuk memelihara shalat dan melaksanakan hukum-hukumnya, dan menegaskan perintah shalat dengan memerikan penegasan. Allah menjelaskan keadaan seseorang yang terhalang dari melaksanakan shalat dengan cara yang lebih sempurna, yaitu dalam situasi pertempuran dan peperangan yang berkecamuk. Allah berfirman: ) Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan( yaitu laksanakanlah shalat dalam situasi apapun, baik dalam keadaan berjalan kaki atau menunggang kuda, baik menghadap kiblat atau tidak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik dari Nafi', bahwa Ibnu Umar ketika ditanya mengenai shalat dalam keadaan ketakutan, dia menjelaskan tentang hal itu. Kemudian dia berkata: “Jika situasi ketakutan lebih parah dari itu, maka shalatlah baik dalam keadaan berjalan kaki atau menunggang kuda, dengan menghadap kiblat atau tidak” Nafi’ berkata,”Aku tidak melihat Ibnu Umar menyebutkan hal itu, kecuali dari Nabi SAW. Dari Muslim juga diriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata: “Jika situasi ketakutan lebih parah dari itu, maka shalatlah dalam keadaan menunggang kuda atau berdiri dengan isyarat”. Dalam hadits dari Abdullah bin Unais Al-Juhani, ketika Nabi SAW mengutusnya kepada Khalid bin Sufyan Al-Hadzli untuk membunuhnya, dan ketika dia berada di sekitar Arafah atau Muzdalifah, saat tiba waktu shalat Ashar, dia mengatakan: “Aku takut akan melewatkan waktu shalat, lalu aku melaksanakan shalat sambil menggunakan isyarat” Hal ini adalah keringanan dari Allah kepada hamba-hambaNya, dan menghapuskan hal-hal yang membatasi dan mengikat mereka. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari jalur Syabib bin Bisyr, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Dalam ayat ini, orang yang menunggang kuda boleh shalat dalam keadaan menunggang, dan orang yang berjalan kaki boleh shalat dalam keadaan berjalan kaki. Diriwayatkan dari Al-Hasan, Mujahid, Makhul, As-Suddi, Al-Hakam, Malik, Al-Awza'i, dan Ats-Tsauri dan Al-Hasan bin Shalih meriwayatkan pendapat serupa dengan menambahkan: “Dia menggunakan isyarat dengan kepalanya ke arah mana saja yang dia menghadap. Imam Ahmad berpendapat, berdasarkan pendapat bahwa shalat dalam keadaan ketakutan bisa dilakukan dalam beberapa keadaan dengan satu rakaat, jika dua pasukan saling bertemu. Pendapat ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Allah mewajibkan shalat melalui lisan nabi kalian SAW dalam keadaan di tempat tinggal sebanyak empat rakaat, dalam perjalanan dua rakaat, dan dalam keadaan ketakutan satu rakaat.” Hal ini dikatakan oleh Hasan Al-Bashri, Qatadah, Adh-Dhahhak, dan lainnya. Firman Allah: (apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah)) yaitu dirikanlah shalat sebagaimana Dia memerintahkan kalian. Maka sempurnakanlah rukuk, sujud, berdiri, dan duduknya dengan khusyu’ dan tuma'ninah, (sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui) yaitu sebagaimana Dia memberi nikmati, petunjuk, dan pengetahuan kepada kalian tentang apa yang bermanfaat bagi kalian di dunia dan akhirat. Maka sambutlah itu dengan rasa syukur dan mengingatNya. Sebagaimana firmanNya setelah shalat dalam keadaan ketakutan: (Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman) (Surah An-Nisa: 103). Dan akan disebutkan hadits-hadits yang menyebutkan tentang shalat dalam keadaan ketakutan dan deskripsinya dalam surah An-Nisa (Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka) (Surah An-Nisa’: 102)


📚 Aisarut Tafasir / Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi

Makna kata: { فَرِجَالًا } Farijâlan: Berjalan kaki atau mengendarai hewan tunggangan atau hal lain yang dapat dikendarai.

Makna ayat:
Allah Ta’ala berfirman :”Apabila kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah Ta’ala (shalatlah), sebagaimana Allah Ta’ala telah mengajarkan kepada kmu apa yang belum kamu ketahui.”
Allah Ta’ala menginginkan dengan kata dzikir (menyebut dan mengingat) di sini adalah: pertama, mendirikan shalat kemudian dzikir secara umum, dengan mengingatkan mereka akan kenikmatan ilmu dan mensyukurinya dengan melaksanakan shalat secara sempurna, karena hal itu akan membantu segala bentuk ketaatan dan bisa mencegah dariperbuatan keji dan mungkar. Inilah kandungan ayat yang keempat (239).

Pelajaran dari ayat:
• Penjelasan mengenai bagi orang yang takut musuh dan selainnya, maka boleh baginya untuk shalat dalam keadaan jalan atau mengendarai kendaraan.
• Kewajiban untuk mengingat Allah, dan bersyukur atas nikmatnya leibh khusus lagi nikmat ilmu tetang Islam.


Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!

📚 An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi

Surat Al-Baqarah ayat 239: Allah menjelaskan bahwasannya jika merasa takut dari musuh dan selainnya dan tidak tenang dalam melaksanakan sholat, maka sholatlah sesuai dengan keadaan yang kalian kerjakan.


📚 Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I

Misalnya ada musuh, ada banjir besar atau ada binatang buas.

Yakni semampunya; bagaimana pun bentuknya, meskipun dengan isyarat atau sampai tidak menghadap kiblat. Dalam ayat ini, terdapat dalil perintah untuk melaksanakan shalat pada waktunya meskipun sebagian syarat dan rukun shalat hilang dan tidak boleh menundanya sampai lewat dari waktunya.

Dengan cara asalnya.

Seperti ibadah dan hukum-hukum yang sebelumnya tidak kita ketahui. Hal ini merupakan nikmat besar yang sepantasnya disikapi dengan dzikrullah dan bersyukur agar nikmat itu tetap ada dan bertambah.


📚 Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI / Surat Al-Baqarah Ayat 239

Namun, jika kamu takut ada bahaya, baik karena musuh, binatang buas, atau lainnya, maka salatlah sambil berjalan kaki karena darurat atau ketika berada di kendaraan, baik menghadap kiblat maupun tidak kemudian apabila situasinya telah kembali aman, maka ingatlah Allah, yakni salatlah, sebagaimana dia telah mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui, seperti cara melaksanakan salat dalam kondisi tidak aman. Ini menunjukkan pentingnya salat. Ia harus ditegakkan dimana saja dan kapan saja, serta dalam situasi apa pun. Usai sejenak mengingatkan manusia agar tidak melalaikan salat karena persoalan keluarga, pada ayat ini Allah kembali menjelaskan hukum keluarga. Dan orang-orang yang akan mati, baik karena sudah renta maupun sakit menahun, di antara kamu, wahai para suami, dan kamu meninggalkan istri-istri, hendaklah ia sebelum meninggal dunia membuat wasiat untuk istri-istrinya untuk tetap tinggal di rumah, juga berpesan kepada anak-anak dan saudara-saudaranya agar memberi mereka nafkah berupa sandang dan pangan, paling tidak sampai setahun sejak suami wafat tanpa seorang pun boleh mengeluarkannya atau mengusirnya dari rumah itu. Tetapi jika mereka, yakni istri yang ditinggal mati suaminya, sebelum setahun keluar sendiri dari rumah tersebut untuk pindah ke tempat lain, maka tidak ada dosa bagimu, wahai para wali atau siapa saja, mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri dalam hal-hal yang baik yang tidak melanggar syariat. Allah mahaperkasa sehingga harus ditaati, mahabijaksana dalam menetapkan hukum demi kemaslahatan hamba-Nya.


Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!

Itulah beraneka penjabaran dari para mufassirun terkait makna dan arti surat Al-Baqarah ayat 239 (arab-latin dan artinya), semoga membawa manfaat untuk kita. Sokonglah perjuangan kami dengan memberikan tautan menuju halaman ini atau menuju halaman depan TafsirWeb.com.

Link Sering Dilihat

Telaah ratusan konten yang sering dilihat, seperti surat/ayat: Al-Hujurat 13, Al-Isra 32, Seribu Dinar, Al-Fatihah, Yusuf 28, An-Naba. Termasuk Al-Kafirun, Al-A’la, Al-Qadr, Al-Falaq, Adh-Dhuha, Do’a Setelah Adzan.

  1. Al-Hujurat 13
  2. Al-Isra 32
  3. Seribu Dinar
  4. Al-Fatihah
  5. Yusuf 28
  6. An-Naba
  7. Al-Kafirun
  8. Al-A’la
  9. Al-Qadr
  10. Al-Falaq
  11. Adh-Dhuha
  12. Do’a Setelah Adzan

Pencarian: surat al imran ayat 159 190 dan 191 latin, al isra ayat 23 24 latin, al-ikhlas, an nisa 4 59, ku anfusakum wa ahlikum naro

Bantu Kami

Setiap bulan TafsirWeb melayani 1.000.000+ kunjungan kaum muslimin yang ingin membaca al-Quran dan tafsirnya secara gratis. Tentu semuanya membutuhkan biaya tersendiri.

Tolong bantu kami meneruskan layanan ini dengan membeli buku digital Jalan Rezeki Berlimpah yang ditulis oleh team TafsirWeb (format PDF, 100 halaman).

Dapatkan panduan dari al-Qur'an dan as-sunnah untuk meraih rezeki berkah berlimpah, dapatkan pahala membantu keberlangsungan kami, Insya Allah.