Do’a Iftitah (Istiftah)
Do’a iftitah versi pertama,
اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ
Arab-Latin:
“Allaahumma Baa’id Bainii Wa Baina Khathaayaaya Kamaa Baa’adta bainal Masyriqi Wal Maghrib. Allaahumma Naqqinii Minal Khathaayaa Kamaa Yunaqqats Tsaubul Abyadlu Minad Danas. Allaahummaghsil Khathaayaaya Bil maa-i Wats Tsalji Wal Barad”
Terjemah Arti:
“Ya Allah, jauhkanlah aku dari kesalahan dan dosa-dosaku sebagaimana engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan dan dosa-dosaku sebagaimana bersihnya pakaian putih dari kotoran. Ya Allah cucilah aku dari dosa-dosaku dengan air, salju dan embun.”
Do’a iftitah versi kedua,
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
Arab-Latin:
Allaahu akbaru Kabiraa Walhamdulillaahi Katsiiraa, Wa Subhaanallaahi Bukratan Wa’ashiilaa
Terjemah Arti:
Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Maha Suci Allah pada waktu pagi dan petang.
Do’a iftitah versi ketiga,
اللَّهُ أَكْبَرُ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ
Arab-Latin:
Allahu Akbar. Wajjahtu Wajhiya Lilladzii Fatharas Samaawaati Wal Ardha Haniifan Musliman Wamaa Anaa Minal Musyrikiin. Inna Shalaatii Wa Nusukii Wa Mahyaaya Wa Mamaatii Lillaahi Rabbil ‘Aalamiina. Laa Syariikalahu Wa Bidzaalika Umirtu Wa Ana Minal Muslimiin. Allahumma Antal Maliku Laa Ilaaha Illaa Anta Subhaanaka Wabihamdika
Terjemah Arti:
Allah Maha Besar. Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dengan segenap kepatuhan atau dalam keadaan tunduk, dan aku bukanlah dari golongan orang-orang yang menyekutukan-Nya. Yaa Allah, Engkaulah penguasa, tidak ada yang berhak disembah selain dirimu. Maha Suci engkau dan Maha Terpuji.
Ta’liq dan syarah (catatan dan penjelasan) untuk artikel ini akan segera menyusul, insyaa Allah, …
Selayang Pandang tentang Doa Istiftaah
Saat memulai sholat, doa yang paling pertama diucapkan setelah mengucapkan takbiiratul ihram ialah doa istiftah. Doa yang senantiasa diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal sholatnya. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membuka shalatnya dengan doa istiftah adalah pertanyaan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala ia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam sebelum memulai bacaan al-faatihah setelah mengucapkan Takbiiratul ihram, Ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا كَبَّرَ فِي الصَّلَاةِ، سَكَتَ هُنَيَّةً قَبْلَ أَنْ يَقْرَأَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila beliau bertakbir dalam memulai shalat beliau terdiam sejenak setelah mengucapkan takbir sebelum membaca surah” (1)
terdapat banyak versi doa istiftah. Rasulullah shallallaah ‘alaihi wa sallam tidak membiasakan dengan satu versi saja, namun beliau menggunakan berbagai bentuk doa istiftah. Seseorang tidak diharuskan membaca versi tertentu, apa pun pilihannya maka itu sah-sah saja selama yang diucapkan berdasarkan dengan sumber yang shahih. Yang terbaik, membacanya secara bergantian, tidak membaca dengan satu versi saja, inilah yang dilakukan Rasulullah shallaahu ‘alaihi wa sallam. Namun jika seseorang mencukupkan dengan satu versi saja di setiap shalatnya maka tidak mengapa. (2)
Sanad Doa-doa Istiftah
Versi Pertama: Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (744) dan Muslim (598)
Versi Kedua: Dikeluarkan oleh Muslim (601), Ahmad (4627), Abu Dawud (764), Ibnu Majah (807), Tirmidzi (3592) dan Nasa’I (885) Abu Ya’la dalam musnadnya (5728), dinyatakan shahih oleh al-Hakim dalam al-mustadrak (858) disepakati oleh Adz-Dzahabiy, Al-Albaniy dalam Takhriij al-Kalimi ath-Thayyib (80), lihat Ashli Shifati Shalaati an-Nabiy )1/272-273)
Catatan: Sebagian Riwayat menerangkan bahwa setiap lafazh dari penggalan doa istiftah ini, masing masing dibaca tiga kali. Syaikh Al-Albaniy rahihimahullaah mendha’ifkan Riwayat-riwayat tersebut. Sebagian ulama lain menyatakan shahih Riwayat tersebut. Sehingga menurut yang mendha’ifkan Riwayat tersebut ,doa istiftah ini dibaca hanya sekali disetiap penggalan lafazh doanya. Sedangkan yang menshahihkannya, doa ini dibaca tiga kali:
Allaahu akbar kabiira 3x
Wal hamdu lillaahi katsiiraa 3x
Wa subhaanallaahi bukratan wa ashiilaa 3x
Versi Ketiga: Dikeluarkan oleh Muslim (771), Ahmad dalam musnadnya (729, 803) dan dalam Fadhailu ash-Shahabah (1188), Abu Dawud (760) Tirmidziy (3421) Nasa’I (897), dinyatakan shahih oleh Al-Hakim dalam al-Mustadrak (1716) dan Al-Albaniy, lihat Ashlu shifati shalaati an-Nabiy (1/242-244).
Catatan: Ada riwayat yang menerangkan bahwa doa istiftaah ini, Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membacanya saat memulai shalat malam, Syaikh Al-Albaniy rahimahullaah dalam kitab Ashlu shifati shalaatin Nabiy (1/243-244). menjelaskan bahwa Riwayat yang mengaitkan dengan shalat malam berada dalam shahih Muslim, dari Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhuma sedangkan riwayat-riwayat dari Ali Radhiyallaahu ‘anhu tidak mengaitkan doa ini dibaca pada shalat malam. Sehingga doa ini dapat dibaca dalam semua shalat, tidak khusus di shalat malam saja.
Makna Doa Istiftah
Secara umum, makna doa-doa istiftah mengandung pengagungan dan pujian kepada Allah Tabaaraka wa Ta’ala juga permintaan pengampunan Allah dari dosa-dosa serta perendahan diri pada-Nya.
Tetapi setiap versi memiliki penekanan makna tertentu:
Versi pertama, mengandung penekanan makna yang berkaitan dengan permintaan pengampunan dan pembersihan dari dosa-dosa.
Dalam doa istiftah ini mengandung permintaan kepada Allah Tabaaraka Wa ta’ala agar dijauhkan dari dosa-dosa sebagaimana Allah telah menjauhkan antara timur dan barat. Yaitu dengan dihapuskannya dosa-dosa dan tidak dihukum atas dosa-dosa tersebut serta permohonan petunjuk agar dijauhan darinya. Dan permohonan agar dibersihkan dari dosa-dosa selayaknya baju putih yang dibersihkan dari noda hingga tidak tersisa bekasnya sedikitpun. Juga membersihkan dari dosa-dosa dengan salju, air dan embun. Ini mengandung isyarat betapa betuhnya hati dan badan terhadap sesuatu yang membersihkan, menyejukkan dan menguatkan keduanya.
Versi kedua mengandung pengagungan, pujian serta pensucian kepada Allah dari segala sifat yang tidak layak bagi keagungan-Nya.
Suatu saat, Ketika para sahabat shalat Bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ada di antara mereka yang mengucapkan doa istiftah ini. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang doa ini:
عَجِبْتُ لَهَا، فُتِحَتْ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ
“Aku takjub dengan doa ini, pintu-pintu langit terbuka untuknya”
Ibnu Umar radhiyallaahuma menuturkan:
فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ
“Aku tidak pernah meninggalkan do aini semenjak aku mendengar Rasulullaah shallallaahu alaihi wa sallam mengatakan itu” (3)
Versi ketiga, di dalamnya terkandung pengakuan dan berita dari seorang hamba tentang apa-apa yang menjadi kewajibannya, berupa perendahan diri, ketundukan di hadapan Pencipta langit dan bumi
وَجَّهْتُ وَجْهِي لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ “Aku menghadapkan wajahku kepada (Allah) Pencipta langit dan bumi” Aku memurnikan agamaku dan amal perbuatanku, aku berniat untuk-Mu saja dalam ibadahku dan tujuanku
حَنِيفًا“dengan hanif (memurnikan)” maknanya: berpaling dari kesyirikan kepada tauhid.
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ “Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan alam semesta” Shalat dan dan menyembelih disebutkan secara khusus di sini karena memiliki kedudukan dan besarnya keutamaan pada keduanya, siapa saja yang ikhlas dalam shalat dan menyembelih makai a akan ikhlas dalam segala amal perbuatannya.
وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي “Hidup dan matiku” perjalanan hidupku dan keadaanku saat mati berupa keimanan dan amal saleh, semua itu untuk Allah Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya.(4)
Fiqih seputar doa Istiftah
Doa istiftah dibaca setelah takbiiratul-ihraam sebelem membaca surat al-Faatihah dibaca dengan melirihkan suara. Sedangkan hukum asal membaca Al-Faatihah adalah disunnahkan, tetapi dapat dirinci sebegai berikut:
- Ketika shalat sendirian, maka membaca doa istiftah disunnahkan bagi dia secara Mutlaq.
- Ketika shalat menjadi imam, maka membaca doa istiftah disunnahkan bagi dia secara Mutlaq.
- Ketika menjadi makmum. Adapun hukum membaca Istiftaah Ketika menjadi makmum maka ada beberapa kondisi:
Pertama: Makmum bertakbiratul ihram Bersama imam yang membaca istiftah saat shalat jahriyah (yang dikeraskan bacaannya), maka dalam kondisi ini makmum disunnahkan membaca istiftah sampai imam memulai bacaannya.
Kedua: Makmum bertakbiratul ihram Bersama imam pada shalat sirriyah (yang dilirihkan bacaannya). Dalam kondisi ini makmum disunnahkan membaca istiftah yang menurut dugaan dia waktunya mencukupi untuk membaca al-faatihah yang berupa rukun shalat.
Ketiga: Makmum terlambat tidak bertakbiratul ihraam Bersama imam. Maka dalam kondisi ini dia lebih utama melakukan yang sesuai dengan kondisi imam pada saat dia memasuki sholat bersamanya.
Keempat: Ketika imam langsung membaca al-faatihah setelah takbiiratul-ihram saat shalat jahriyah, maka makmum tidak membaca istiftaah, karena saat ini dia wajib menyimak bacaan imam.
Kelima: Ketika makmum sempat membaca istiftaah, namun ia belum menuntaskan bacaan istiftaahnya, imam sudah memulai bacaannya. Maka yang sebaiknya ia lakukan adalah menghentikan doa istiftaahnya dan wajib baginya menyimak bacaan imam, Wallaahu a’lam
- Shahih Bukhari (744) dan Shahih Muslim (598)
- Lihat: Al-Jaami’ lil muallafaat war rasaail Abdurrazzaq Bin Abdul Muhsin al-Badr (13/564-566) dengan sedikit perubahan.
- Perkataan Ibnu Umar radhiyallah ini dikeluarkan oleh Muslim (601) dan Ahmad dalam Musnad (4627).
- Lihat: Al-Jaami’ lil muallafaat war rasaail Abdurrazzaq Bin Abdul Muhsin al-Badr (13/564-566) dengan sedikit perubahan.
Catatan oleh: Salman Zulfahmi, S.Ag