Surat An-Nisa Ayat 24
۞ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمْ أَن تَبْتَغُوا۟ بِأَمْوَٰلِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ ۚ فَمَا ٱسْتَمْتَعْتُم بِهِۦ مِنْهُنَّ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَٰضَيْتُم بِهِۦ مِنۢ بَعْدِ ٱلْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Arab-Latin: Wal-muḥṣanātu minan-nisā`i illā mā malakat aimānukum, kitāballāhi 'alaikum, wa uḥilla lakum mā warā`a żālikum an tabtagụ bi`amwālikum muḥṣinīna gaira musāfiḥīn, fa mastamta'tum bihī min-hunna fa ātụhunna ujụrahunna farīḍah, wa lā junāḥa 'alaikum fīmā tarāḍaitum bihī mim ba'dil-farīḍah, innallāha kāna 'alīman ḥakīmā
Artinya: Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!
Tafsir Penting Terkait Dengan Surat An-Nisa Ayat 24
Paragraf di atas merupakan Surat An-Nisa Ayat 24 dengan text arab, latin dan terjemah artinya. Ada beragam tafsir penting dari ayat ini. Didapatkan beragam penjelasan dari para pakar tafsir mengenai isi surat An-Nisa ayat 24, di antaranya sebagaimana terlampir:
📚 Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia
Dan diharamkan juga atas kalian menikahi wanita-wanita bersuami, kecuali wanita-wanita dari mereka yang kalian tawan dalam peperangan. Sesungguhnya menikahi mereka itu halal bagi kalian, setelah melewati Memastian kosongnya Rahim-rahim mereka dengan sekali haid. Allah telah menetapkan atas kalian pengharaman menikahi mereka dan memperbolehkan menikahi wanita-wanita selain mereka dari wanita-wanita yang Allah menghalalkan kalian untuk mencari dengan harta-harta yang kalian miliki, cara untuk menjaga kehormatan kalian dari perbuatan haram. Kemudian istri-istri yang kalian telah nikmati dari mereka melalui pernikahan yang sah,maka berikanlah kepada mereka mahar-mahar mereka yang telah Allah wajibkan atas kalian.Tidak ada dosa atas kalian dalam kesepakatan yang saling meridoi yang terjalin di antara kalian untuk menambah atau mengurangi kadar mahar sesudah kewajiban membayar mahar tersebut ditentukan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui urusan-urusan hamba-hambaNYA, juga Maha bijaksana dalam ketetapan-ketetapan hukum dan pengaturanNYA.
📚 Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an Univ Islam Madinah
24. Setelah Allah menyebutkan wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi, Dia menambahkan ke dalam kelompok mereka wanita-wanita yang bersuami: Dan diharamkan bagi kalian menikahi wanita-wanita yang bersuami, kecuali wanita tawanan perang melawan orang-orang musyrik, mereka boleh untuk dinikahi setelah mereka melewati masa satu kali haid. Allah mewajibkan kalian untuk menikahi mereka.
Allah menghalalkan bagi kalian wanita-wanita lain selain mereka yang telah disebutkan, untuk kalian mengeluarkan harta kalian untuk menikahi mereka dengan cara yang syar’i demi menjauhi perbuatan zina dan menjauhkan para wanita dari perbuatan itu. Mahar yang kalian berikan kepada wanita yang kalian nikahi adalah kewajiban yang harus kalian tunaikan. Jika suami hendak menambah jumlah mahar atau istri tidak mau mengambil mahar dengan suka rela maka hal itu tidak berdosa. Allah menetapkan syariat-syariat ini dengan ilmu dan kebijaksanaan-Nya, dan Dia menetapkan bagi kalian batas-batas yang membedakan antara halal dan haram.
📚 Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam Masjidil Haram
24. Dan diharamkan bagi kalian menikahi wanita-wanita yang bersuami, kecuali wanita-wanita yang kalian miliki karena menjadi tawanan perang di medan jihad fi sabilillah, maka kalian boleh menggauli mereka setelah kalian mengetahui kebersihan rahim mereka dengan (menunggu) satu kali haid. Allah menetapkan hal itu bagi kalian secara wajib. Dan Allah menghalalkan wanita-wanita selain itu (untuk dinikahi) bilamana kalian menggunakan harta untuk menjaga kehormatan kalian dan melindungi kesuciannya dengan cara yang halal, bukan dengan tujuan berbuat zina. Kemudian wanita mana pun yang kalian nikmati melalui pernikahan, maka berikanlah maharnya yang Allah tetapkan sebagai kewajiban kalian. Namun tidak ada dosa bagi kalian, jika kalian saling merelakan setelah mahar yang wajib tersebut ditetapkan dengan memberikan tambahan atas mahar tersebut atau mengurangi sebagian dari mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui makhluk-Nya, tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya, lagi Maha Bijaksana dalam pengaturan-Nya dan penetapan syariat-Nya.
Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!
📚 Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah
24. وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ النِّسَآءِ (wanita yang bersuami)
Yakni yang mempunyai suami, mereka haram bagi selain suami mereka kecuali apabila telah mentalak mereka dan telah selesai masa iddahnya.
إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمٰنُكُمْ ۖ (kecuali budak-budak yang kamu miliki)
Yakni budak dari tawanan di medan perang, adapun apabila membeli budak wanita yang memiliki suami maka ia tidak halal baginya kecuali apabila suaminya menceraikannya.
كِتٰبَ اللهِ عَلَيْكُمْ ۚ (sebagai ketetapan-Nya atas kamu)
Yakni hukum yang tetap yang tidak boleh seorangpun mengubahnya.
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذٰلِكُمْ(Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian)
Yakni yang selain yang diharamkan dalam ayat yang telah disebutkan sebelumnya.
أَن تَبْتَغُوا۟ بِأَمْوٰلِكُم(mencari isteri-isteri dengan hartamu)
Yakni dihalalkan bagi kalian mencari istri dari wanita yang dihalalkan bagimu dengan mahar dari harta kalian yang halal; dan janganlah memakai harta tersebut untuk mencari yang haram.
مُّحْصِنِينَ (untuk dikawini)
Yakni orang-orang yang menjaga kehormatan dan menjauhi perbuatan zina, yang juga bermaksud dengan ikatan pernikahan itu sebagai penjaga kehormatan sang istri.
غَيْرَ مُسٰفِحِينَ ۚ (bukan untuk berzina)
Yakni yang bukan yang melakukan zina.
فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِۦ مِنْهُنَّ(Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka)
Yakni yang kalian nikmati dari istri-istri kalian melalui jima’ dengan cara pernikahan yang sah secara agama.
فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ(berikanlah kepada mereka maharnya)
Yakni mahar yang kamu relakan untuk mereka.
Rasulullah telah melarang dan mengharamkan nikah mut’ah; diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan muslim dari Ali bin Abi Thalib ia berkata: Rasulullah telah mengharamkan nikah mut’ah dan daging keledai pada perang Khaibar.
Dan dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Rabi’ bin Saburah dari ayahnya, saburah bin ma’bad bahwa ia saat itu ia bersama Rasulullah -yakni di perang fathu Makkah, ia bersabda: “Hai manusia, sesungguhnya dulu aku mengizinkan kalian untuk mengawini para wanita dengan nikah mut’ah, dan kini Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat, maka barangsiapa yang melakukan hal itu maka hendaklah ia meninggalkannya dan janganlah kalian mengambil apa yang telah kalian berikan kepada istri-istri yang kalian mut’ah”.
فَرِيضَةً(sebagai suatu kewajiban)
Yakni mahar adalah suatu kewajiban dari Allah yang harus ditunaikan untuk para istri.
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرٰضَيْتُم بِهِۦ مِنۢ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ( dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu)
Yakni dengan menambah atau mengurangi mahar tersebut setalah akad nikah.
📚 Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah
24. Dan diharamkan atas kalian wanita-wanita yang telah menikah, baik yang muslimah atau tidak kecuali setelah selesainya masa iddah mereka karena ditinggal mati atau ditalak, serta para tawanan perang setelah habis masa haidnya. Dan kalian diperbolehkan untuk menikah dengan selain wanita-wanita yang disebutkan itu, yaitu menikahi wanita-wanita yang dihalalkan oleh Allah bagi kalian dengan mahar, untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan dalam pernikahan yang syar’i, dan tidak menjadi orang yang berzina. Dan apa yang kalian nikmati dari wanita itu dilakukan dengan pernikahan yang syar’i. Maka berilah mereka mahar yang kalian senangi. Mahar adalah suatu kewajiban dari Allah SWT (bagi suami) yang harus diberikan untuk para istri. Kalian tidak berdosa bila menambah atau mengurangi mahar, atau memberikannya secara keseluruhan atau dicicil. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui sesuatu yang baik bagi ciptaanNya dan Maha Bijaksana dalam tindakan dan aturanNya terkait hukum-hukum ini. Ayat ini turun terkait para tahanan perang yang memiliki suami, ketika para sahabat bertanya kepada Nabi SAW tentang mereka, lalu turunlah ayat {Wal muhshonaatu minannisaai illa maa malakat aimaanukum}. Adapun firman Allah SWT {Wa laa Junaaha ‘alaikum …} diturunkan terkait para lelaki yang harus membayar mahar, lalu salah satu dari mereka merasa kesulitan.
📚 Tafsir Ash-Shaghir / Fayiz bin Sayyaf As-Sariih, dimuraja’ah oleh Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-‘Awaji, professor tafsir Univ Islam Madinah
Wanita-wanita yang bersuami} diharamkan atas kalian wanita-wanita yang telah menikah {kecuali hamba sahaya perempuan yang kalian miliki} hamba sahaya yang kalian miliki dengan menawan mereka dalam jihad {sebagai ketetapan Allah atas kalian} Allah menetapkan itu untuk kalian {Dihalalkan bagi kalian selain yang demikian itu} selain wanita yang disebutkan Allah {yakni kalian mencari} mencari {dengan harta kalian untuk menikahinya} kalian memiliki niat murni dan membentengi diri dari hal-hal haram {bukan untuk berzina} bukan untuk berzina {Karena kenikmatan yang telah kalian dapatkan dari mereka} maka siapa saja yang mendapatkan kenikmatan dengan menikahi mereka {berilah mereka} berilah mereka {imbalan mereka} mahar mereka {sebagai suatu kewajiban. Tidak ada dosa bagi kalian mengenai sesuatu yang saling kalian ridhai sesudah menentukan kewajiban. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana
Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!
📚 Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H
24. dan diantara wanita-wanita yang diharamkan dinikahi adalah “dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami” yaitu wanita-wanita yang telah memiliki suami sesungguhnya diharamkan untuk menikahi mereka selama masih dalam pengayoman suami mereka hingga mereka diceraikan dan selesai masa iddah nya “kecuali budak-budak yang kamu miliki” yaitu (yang didapatkan) dari bagian tawanan perang, artinya bila seorang perempuan kafir yang bersuami tertawan, maka halal bagi kaum muslimin setelah perempuan itu dinyatakan terlepas dari kehamilan adapun bila seorang perempuan yang telah menikah dijual atau dihibahkan maka status pernikahan nya tidaklah batal, karena pemilik yang kedua (yang membelinya atau yang menerimanya) berposisis seperti posisi pemilik pertama (yaitu hanya pemilik) ini berdasarkan kisah budak perempuan barirah ketika nabi memberikannya pilihan
firmanNya “Allah telah menetapkan hokum itu sebagai ketetapanNya atas kamu” yaitu konsistenlah padanya dan tetapilah ia sebagai petunjuk karena hal itu mengandung penyembuhan dan cahaya dan juga mengandung penjelasan secara rinci antara yang halal dan yang haram.
Dan termasuk dalam firmanNya “dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian“ setiap perempuan yang tidak disebutkan dalam ayat tersebut adalah halal lagi baik, jadi yang haram itu terbatas sebagai sebuah kasih saying drai Allah dan rahat serta kemudahan bagi hamba firmanNya “yaitu mencari istri-istri dengan hartamu” yaitu kalian memilih perempuan yang menjadi pilihan dan kesukaan kalian dari perempuan-perempuan yang telah dihalalkan oleh Allah bagi kalian ketika kalian dalam keadaan “ingin mengawini mereka” yakni menjaga diri dari perzinaan dan menjaga diri dari istri-istri kalian “bukan untuk berzina” as-safhu adalah menumpahkan air sperma pada yang halal maupun yang haram, sesungguhnya pelaku hal tersebut (perzinaan) tidaklah dikatakan menjaga istrinya karena ia telah melampiaskan syahwatnya pada yang haram, hingga lemahlah hasratnya pada yang halal akhirnya ia tidak mampu menjaga dirinya untuk istrinya. di dalam ayat ini juga terdapat isyarat yang menunjukan bahwa orang yang tidak menjaga dirinya janganlah dinikahi.atas firmanNya “ laki-laki yang berzina tidak mengawini perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawani melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik”
“maka istri-isyri yang telah kamu nikmati (campuri) dianatara mereka” yaitu perempuan-perempuan yang telah kalian nikahi, ”berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna)“ yaitu imbalan sebagai suatu timbal balik (bolehnya) menikmati, oleh karena itu apabila seorang suami telah mencampuri istrinya, maka wajiblah atasnya memberikan mahar kepadanya, ”sebagai suatu kewajiban” maksudnya pemberian mahar yang dilakukan oleh kalian kepada mereka adalah sebuah kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah atas kalian dan bukan bentuk penghibahan di mana bila mau ia membayarkannya dan bila menghendaki ia menahannya, atau arti dari firman Allah “sebagai suatu kewajiban” yaitu yang telah ditentukan di mana kalian telah menenttukannya, maka wajiblah atas kalian (untuk membayarnya) dan janganlah kalian kurangi darinya sedikitpun.
“dan tidalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya” yaitu dengan tambahan oleh pihak suami atau pengguguran dari pihak istri atas dasar keridhaan dan kerelaan jiwa inilah pendapat dari sebagian besar para ulama ahli tafsir dan sebagain besar dari mereka berkata bahwa sesungguhnya ayat ini turun untuk menerangkan tentang nikah mut’ah terhadap perempuan dimana pada awal-awal islam hukumnya adalah halal, kemudian nabi mengharamkannya bahwa beliau memerintahkan agar menentukan waktu dan maharnya, kemudian bila telah berlalu masa yang ada diantara keduanya dan mereka berdua saling ridha setelah menentukan mahar tersebut, maka itu tidaklah haram bagi mereka berdua,
“sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi mahabijaksana” yaitu ilmu yang sempurna dan luas serta hikmah yang sempurna, dan diantara ilmu dan hikmahNya adalah Allah hokum-hukum yang menjelaskan secara terperinci anatara halal dan haram.
📚 Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas) / Fathul Karim Mukhtashar Tafsir al-Qur'an al-'Adzhim, karya Syaikh Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin, professor fakultas al-Qur'an Univ Islam Madinah
Ayat 23-24
Ayat ini adalah ayat yang mengharamkan (untuk menikahi) orang yang memiliki hubungan mahram melalui nasab, melalui hubungan persusuan, dan melalui hubungan perkawinan, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas,“Telah diharamkan untuk kalian tujuh hubungan nasab dan tujuh hubungan melalui perkawinan. Dia membaca, (Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan).
Mayoritas ulama telah menunjukkan dalil tentang larangan mengambil wanita yang berasal air mani orang yang berbuat zina atas dasar keumuman firmanNya (anak-anakmu yang perempuan) yaitu anak perempuan. Sehingga hal itu mencakup sesuatu yang umum sebagaimana yang dipilih oleh madzhab Imam Abu Hanifah Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i sesuatu yang membolehkannya adalah karena dia buka anak yang sah secara syari’at, sebagaimana tidak termasuk dalam firmanNya (Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian warisan) anak-anakmu) (Surah An-Nisa’: 11) sehingga dia tidak dapat mewarisi menurut pendapat mayoritas. Begitu juga tidak termasuk dalam ayat ini. Hanya Allah yang lebih mengetahui. Firman Allah SWT (ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan) sebagaimana diharamkan ibu yang melahirkanmu, begitu juga diharamkan bagimu ibumu yang menyusuimu
Firman Allah: (ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya) Adapun Ibu kandung seorang wanita itu diharamkan, segera setelah akad nikah dilakukan dengan anaknya baik sudah melakukan hubungan intim dengan wanita itu atau belum, Adapun anak tiri dari wanita itu, maka tidak diharamkan sampai sudah melakukan hubungan intim wanita itu. Jika sudah menceraikan ibu tirinya sebelum terjadi hubungan intim, maka boleh menikahi anak tirinya. Oleh karena itu Allah berfirman (anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya) yaitu menikahi mereka. Ini berlaku khusus untuk anak-anak tiri dari istri (yang belum dicampuri). Beberapa telah keliru bahwa isim dhamir pada ayat itu merujuk kepada para ibu dan anak tiri, sehingga berkata salah satu dari ibu dan anak tiri itu tidak diharamkan ibu dan anak tiri dari seorang wanita segera setelah terjadi akad nikah dengan wanita itu, sampai dia melakukan hubungan intim dengannya, karena merujuk pada firmanNya (tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya)
Ali bin Abi Thalib ditanya tentang laki-laki yang menikahi seorang wanita dan menceraikannya sebelum melakukan hubungan intim, "Apakah dia boleh menikahi ibunya?" Dia menjawab, "Dia memiliki kedudukan seperti anak tiri"
Adapun firman Allah SWT: (anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu), mayoritas imam sepakat bahwa yang dimaksud dengan anak tiri itu haram baik dalam pemeliharaan laki-laki atau tidak. Mereka berkata bahwa kalimat ini adalah di luar kebiasaan, sehingga dan tidak memiliki makna yang khusus, sebagaimana dengan firmanNya SWT: (Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian) (Surah An-Nur: 33). Disebutkan dalam hadits shahih Bukhari Muslim bahwa Ummu Habibah berkata, “Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku, putri Abu Sufyan” atau dalam riwayat Muslim, “saudariku putri Abu Sufyan” Rasulullah SAW bertanya, “Apakah kamu menginginkan itu?” dia menjawab, “Aku tidak pernah menjadi istrimu seorang diri, dan orang yang paling aku sukai menemaniku dalam kebaikan adalah saudariku” Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Itu tidak halal bagiku” Dia bertanya lagi, “Sesungguhnya kami diberitahu, bahwa engkau ingin menikahi anak Abu Salamah” Rasulullah SAW bertanya, “Putri Ummu Salamah?” Dia menjawab, “Ya.” Rasulullah SAW berkata, “Seandainya dia bukan anak asuhku, dia tetap tidak halal bagiku. Dia itu putri dari saudara sepersusuanku. Aku dan Abu Salamah pernah disusui oleh Tsuwaibah, maka jangankanlah kalian menawarkan anak-anak atau saudari-saudari kalian kepadaku” Dalam riwayat Imam Bukhari “Sesungguhnya aku jika tidak menikah dengan Ummu Salamah, maka dia tidak halal bagiku” . Pernikahan beliau dengan Ummu Salamah menjadi ketentuan dalam pengharaman itu, Ini adalah pandangan empat imam besar dan tujuh ahli fiqh dan mayoritas ulama’ salaf dan masa kini. Dikatakan bahwa anak tiri tidak diharamkan kecuali jika berada dalam asuhan laki-laki, namun jika tidak maka tidak diharamkan.
Ibnu Jarir berkata, “Semua orang sepakat bahwa hubungan antara suami dan istrinya tidak menjadikan putri tiri istrinya haram baginya jika dia menceraikannya sebelum bersetubuh dengan istrinya atau sebelum melihat farjinya dengan hasrat, yaitu sesuatu yang mengarah pada hubungan hubungan intim.
Firman Allah: (dan (diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu) yaitu diharamkan bagi kalian istri-istri dari anak-anak kandung kalian. Waspadailah hal itu dari orang-orang yang diangkat menjadi anak pada zaman Jahiliyyah, Sebagaimana Allah SWT berfirman: (Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya) (Surah Al-Ahzab: 37)
Diriwayatkan dari Hasan bin Muhammad: Sesungguhnya ayat-ayat itu adalah ayat yang mubham yaitu (dan (diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu) dan (ibu-ibu isterimu (mertua)).
Saya berkata, makna mubham adalah umum dalam penerapannya, baik yang terkandung dalamnya maupun yang tidak terkandung, sehingga ibunya menjadi haram hanya dengan melakukan akad dengan anaknya. Ini adalah pendapat yang disepakati. Jika ditanya,”Bagaimana istri dari anak yang melalui hubungan persusuan menjadi mahram sebagaimana pendapat mayoritas, dan ada orang yang menganggapnya sebagai ijma' dan dia bukan berasal dari tulang sulbinya? Jawabannya adalah sabda Rasulullah SAW bahwa “menjadi mahram (saudara) dari sesusuan sebagaimana menjadi mahram (saudara) dari keturunan” dan firman Allah SWT: (dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) yaituAllah telah mengharamkan perkawinan dengan dua saudara perempuan secara bersamaan. Hal ini juga berlaku pada budak yang dimiliki, kecuali orang-orang di antara kalian yang melakukannya pada zaman Jahiliyah kalian, maka Kami telah memaafkan dan mengampuni hal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengecualian untuk sesuatu yang terjadi pada masa depan dan yang telah lalu. Sebagaimana Allaah SWT berfirman (mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia) (Surah Ad-Dukhan: 56) Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak akan pernah merasakan kematian di dalamnya selama-lamanya. Para ulama, baik dari para sahabat, tabi'in, maupun imam-imam baik yang dahulu maupun masa sekarang secara mutlak sepakat bahwa menghimpun perkawinan antara dua saudara perempuan itu haram, dan siapa saja yang masuk Islam dan memiliki dua saudara perempuan yang sudah dinikahi sebelumnya, maka harus menikahi salah satunya dan menceraikan yang lainnya.
Firman Allah: (dan wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki), yaitu bahwa diharamkan atas kalian menikahi perempuan yang dijaga yaitu istri orang lain, (kecuali budak-budak yang kamu miliki) kecuali budak yang kalian miliki dari tawanan perang. Maka itu halal bagi kalian, dan kalian boleh menggauli mereka setelah mereka suci. Ayat ini diturunkan terkait perkara tersebut. Diriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudri, dia berkata, “Kami memiliki budak perempuan dari daerah Awthas, dan mereka memiliki suami. Kami tidak ingin bersentuhan dengan mereka, karena mereka memiliki suami, lalu kami bertanya kepada Nabi SAW. Lalu turunlah ayat ini: (dan wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki) dan kami dihalalkan atas mereka melalui ayat ini.
Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan firmanNya: (dan wanita yang bersuami) yaitu wanita-wanita yang menjaga kehormatannya itu haram bagi kalian hingga kalian memperoleh hak kepemilikan atas mereka melalui pernikahan, saksi, mahar, dan wali, baik satu, dua, tiga, atau empat, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Abu Al-'Aliyah, Thawus, dan lainnya. Umar dan 'Ubaidah berkata terkait ayat (dan wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki) wanita selain empat istri yang boleh untuk dinikahi itu haram bagi kalian kecuali budak yang telah kalian miliki.
Firman Allah: (sebagai ketetapan-Nya atas kamu) yaitu larangan ini adalah ketentuan yang telah ditetapkan Allah atas kalian, maka patuhilah ketentuanNya dan jangan melanggarnya. Patuhilah hukumNya dan apa yang Dia wajibkan. ‘Ubaidah, ‘Atha’ dan As-Suddi berkata terkait ayat (telah tetapkan) yaitu empat istri yang boleh dinikahi. Ibrahim berkata terkait ayat (telah tetapkan) yaitu apa yang diharamkan atas kalian.
Firman Allah SWT: (Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian) yaitu kecuali wanita-wanita yang diharamkan yang telah disebutkan, maka mereka itu halal bagi kalian, Hal ini dikatakan oleh'Ahta' dan lainnya. ‘Ubaidah dan As-Suddi berkata terkait ayat (Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian) yaitu selain dari yang empat istri yang boleh dinikahi. Ini adalah pandangan yang jauh dari kebenaran. Pendapat yang benar adalah sebagaimana yang telah disampaikan oleh 'Ahta'. Qatadah berkata terkait ayat (Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian) yaitu budak yang telah kalian miliki. Ayat ini adalah dasar yang digunakan oleh orang yang berhujjah terkait pembolehan mengawini dua saudara perempuan, Dikatakan bahwa satu ayat menghalalkan mengawini dua saudara perempuan dan satu ayat mengharamkannya.
Firman Allah: ((yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina) yaitu dapatkanlah dengan harta kalian jika istri-istri lain bahkan jika sampai empat, jika kalian mau dengan cara yang sesuai dengan syariat, oleh karena itu Allah berfirman: (untuk dikawini bukan untuk berzina)
Firman Allah: (Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya) yaitu sebagaimana kalian menikmati hubungan dengan mereka, maka berikanlah mahar kepada mereka sebagai ganti hal tersebut, sebagaimana Allah SWT berfirman: (Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) satu sama lain) (Surah An-Nisa: 21), (Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan)(Surah An-Nisa: 4), dan (Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka) (Surah Al-Baqarah: 229) karena keumumannya, ayat ini digunakan sebagai dalil untuk melakukan nikah mut’ah. Tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut dilakukan pada masa permulaan Islam, kemudian setelah itu dinasakh. Imam Syafi’i dan para ulama’ yang mengikutinya bahwa sebelumnya hal itu diperbolehkan, kemudian dinasakh, kemudian diperpolehkan dan dinasakh lagi.
Firman Allah SWT: (dan tidak ada dosa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu) orang yang menjadikan ayat ini sebagai dalil untuk nikah mut’ah sampai waktu tertentu, dia berkata,”Maka tidak ada dosa bagi kalian ketika waktunya habis dan kalian berdua setuju untuk memperpanjang waktunya dan melanjutkan pernikahannya.” As-Suddi berkata,”Jika dia mau merelakannya setelah memenuhi kewajiban mahar pertama, yaitu mahar yang diberikan kepadanya untuk mendapatkan kenikmatan dengannya sebelum berakhirnya waktu yang telah disepakati keduanya. Lalu dia berkata,”Aku juga mendapatkan darimu melalui hal ini.” Jadi jika dia memberinya tambahan dalam mahar sebelum melepaskan hubungannya pada masa berakhirnya waktu kesepakatannya, maka hal itu didasarkan pada firman Allah: (dan tidak ada dosa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu) As-Suddi berkata,”Jika waktu kesepakatannya telah usai, maka tidak ada jalan lain baginya, dia melepaskan mahar itu dan harus melepaskan apa yang diberikan kepadanya, dan tidak ada harta warisan antara keduanya, sehingga tidak ada yang mewarisi hal itu dari keduanya” Orang yang mengatakan pendapat pertama, maknanya itu seperti firman Allah SWT (Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya (4)) yaitu ketika kamu memberikan mahar kepadanya, lalu dia menyerahkan mahar itu atau sedikit darinya kepadamu, maka tidak ada dosa bagimu dan baginya dalam hal itu
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas: (dan tidak ada dosa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu) yang dimaksud dengan “At-Taraadhi” di sini adalah ketika laki-laki telah membayar mahar kepada istri, kemudian kalian berdua sepakat dengan mahar itu yaitu untuk menjalani pernikahan atau berpisah. Firman Allah: (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana) penyebutan dua sifat ini sesuai setelah menentukan hukum terkait larangan-larangan tersebut.
📚 Aisarut Tafasir / Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi
Makna Kata:
{ﻭاﻟﻤﺤﺼﻨﺎﺕ} wah muhshonaat: muhshonaat bentuk jamak dari muhsonah, yang dimaksud di sini adalah wanita yang menikah.
{ﺇﻻ ﻣﺎ ﻣﻠﻜﺖ ﺃﻳﻤﺎﻧﻜﻢ} illa ma malakat iamaanukum hamba sahaya yang diperoleh dengan cara perang atau jual beli.
{ﻣﺎ ﻭﺭاء ﺫﻟﻜﻢ} ma waraa adzalikum: yang setelahnya, yaitu setelah apa yang diharamkan bagi kalian.
{ﻏﻴﺮ ﻣﺴﺎﻓﺤﻴﻦ} ghaira musaafihiin: Al Musafih bermakna pezina. Karena kata sifah artinya zina.
{ﺃﺟﻮﺭﻫﻦ ﻓﺮﻳﻀﺔ} ujurahunna faridhoh: mahar mereka pemberian yang wajib.
Makna ayat:
Masih dalam latar belakang tentang hal yang dapat mengharamkan pernikahan dan apa yang membolehkannya. Di dalam ayat 24 Allah menyambungkan dengan kata konjungsi ‘و’ (dan) para wanita mahram karena semenda dengan wanita yang menikah {ﻭاﻟﻤﺤﺼﻨﺎﺕ}, ialah yang mempunyai suami. Tidaklah halal menikahi wanita-wanita yang menikah kecuali setelah terjadinya perpisahan antara sang wanita dengan suami dengan cara perceraian ataupun kematian dan setelah selesai dari iddah juga. Allah mengecualikan istri-istri dari kalangan hamba sahaya, ialah wanita yang didapat dari rampasan perang yang sesuai dengan syariat, yaitu jihad di jalan Allah. Dan dalam hal ini diperbolehkan walaupun suami dari wanita rampasan perang ini belum mati di medan perang, putus sudah hubungan sang wanita dengan suaminya dan keluarganya dengan terjunnya si suami ke medan perang serta si perempuan telah menjadi budak. Allah Ta’ala mengizinkan sebagai bentuk kasih sayang kepada si budak dengan bolehnya pernikahan dengan tuan yang memilikinya. Oleh karenanya turun ayat ini berkaitan dengan para perempuan tawanan perang Authos, perang yang terjadi setelah perang Hunain. Kaum muslimin menawan para wanita dan keturunannya, maka para muslimin merasa sungkan untuk mendatangi para perempuan itu. Di antara para tawanan itu ada wanita yang menikah, maka diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk mendekati mereka setelah perempuan tawanan masuk Islam dan tidak menggaulinya setelah mereka datang haid dan selesai haidh. Adapun bagi wanita tawanan yang belum masuk Islam, maka tidaklah halal bagi kaum muslimin karena mereka itu adalah wanita musyrik, ini adalah makna ayat firman Allah: {ﻭاﻟﻤﺤﺼﻨﺎﺕ ﻣﻦ اﻟﻨﺴﺎء ﺇﻻ ﻣﺎ ﻣﻠﻜﺖ ﺃﻳﻤﺎﻧﻜﻢ} “dan para muhshonnah dari kaum wanita kecuali para hamba sahaya kalian”
Dan firman Allah {ﻛﺘﺎﺏ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻜﻢ} yang dimaksud Allah adalah apa yang diharamkan dalam pernikahan telah ditulis olehNya dan diwajibkan kepada kaum muslimin kewajiban yang harus dan tidak boleh dilalaikan atau digampangkan.
Allah berfirman: {ﻭﺃﺣﻞ ﻟﻜﻢ ﻣﺎ ﻭﺭاء ﺫﻟﻜﻢ} “Dan dihalalkan untuk kalian yang selain itu”, maksudnya adalah apa yang diharamkan oleh Allah dari para mahram karena nasab dan persusuan serta semenda dengan syarat tidak lebih dari empat istri. Hal ini gamblang dari firman Allah {ﻣﺜﻨﻰ ﻭﺛﻼﺙ ﻭﺭﺑﺎﻉ} “dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat” dan firman yang lain disebutkan {ﺃﻥ ﺗﺒﺘﻐﻮا ﺑﺄﻣﻮاﻟﻜﻢ ﻣﺤﺼﻨﻴﻦ ﻏﻴﺮ ﻣﺴﺎﻓﺤﻴﻦ} maksudnya adalah tidaklah mengapa dengan harta kalian untuk mencari istri dari wanita-wanita yang selain diharamkan Allah, maka menikahlah degan wanita yang baik bagi kalian sesuai dengan keadaan kalian dari kalangan wanita-wanita yang menjaga diri (muhshon) dan tidak mempunyai laki-laki simpanan. Pernikahan ini diharuskan dengan menyempurnakan syarat-syarat pernikahan yang terdiri dari wali, mahar, akad dan saksi. Maka pernikahan yang tidak terpenuhi syarat-syarat ini adalah zina. Allah berfirman {ﻓﻤﺎ اﺳﺘﻤﺘﻌﺘﻢ1 ﺑﻪ ﻣﻨﻬﻦ ﻓﺂﺗﻮﻫﻦ ﺃﺟﻮﺭﻫﻦ ﻓﺮﻳﻀﺔ} “yang kalian nikmati dari para wanita, maka berikanlah mahar hak wajib mereka” Allah menghendaki setiap laki-laki yang menikahi seorang wanita dan bersetubuh dengannya, sang wanita wajib mendapatkan mahar tunai. Adapun jika belum berhubungan badan dengan sang wanita dan diceraikan, maka si wanita tidak mendapatkan kecuali setengah dari mahar yang telah disebutkan. Andai maharnya belum disebutkan, maka tiada mahar bagi si wanita tapi hanya sekedar mut’ah. Dan maksud dari ayat : {ﻓﻤﺎ اﺳﺘﻤﺘﻌﺘﻢ ﺑﻪ ﻣﻨﻬﻦ} kalian telah bersetubuh dengan mereka.
Allah berfirman: {ﻭﻻ ﺟﻨﺎﺡ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﺗﺮاﺿﻴﺘﻢ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ اﻟﻔﺮﻳﻀﺔ} maksudnya adalah jika seorang laki-laki memberikan mahar kepada istrinya, dan maharnya berupa mahar yang tunai (bukan utang/kurang), maka tidaklah keduanya (suami-istri) untuk sungkan dalam hal kerelaan mahar dari istri untuk digunakan suaminya, diakhirkan dan dihibahkan semua maharnya atau sebagian. Karena itu mahar itu adalah hak si istri dan dialah yang memilikinya seperti disebutkan dalam ayat yang lalu {ﻓﺈﻥ ﻃﺒﻦ ﻟﻜﻢ ﻋﻦ ﺷﻲء ﻣﻨﻪ ﻧﻔﺴﺎ ﻓﻜﻠﻮﻩ ﻫﻨﻴﺌﺎ ﻣﺮﻳﺌﺎ}. “Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”
Allah berfirman : {ﺇﻥ اﻟﻠﻪ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻴﻤﺎ ﺣﻜﻴﻤﺎ} “Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijak”, maksudnya adalah memberikan pemahaman kepada kaum mukminin bahwasanya Allah itu Maha Mengetahui terhadap keadaan mereka dan Maha Bijak dalam menentukan syariat. Hendaklah kaum mukminin menerima syariat saat dalam keadaan biasa maupun saat mendapat keringan dari Allah. ٍSesungguhnya syariat Allah memperhatikan sisi kasih sayang dan keadilan. Betapa indahnya syariat yang berdiri di atas prinsip kasih sayang dan keadilan. Ini adalah yang tercangkup dalam ayat pertama (nomor 24).
Pelajaran dari Ayat:
• Wanita yang sudah menikah haram untuk dinikahi orang lain sampai wanita itu berpisah dengan suaminya dengan cara talak ataupun kematian dan sampai selesai masa iddahnya.
• Diperbolehkannya menikahi seorang hamba sahaya walaupun suami sang budak itu hidup dalam medan perang jika si budak sudah masuk islam, karena Islam adalah hal yang memisahkan dia dan suaminnya.
• Wajibnya mahar, dan diperbolehkan kepada sorang perempuan untuk memberikan kepada istrinya sesuatu dari maharnya itu.
Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!
📚 An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi
Surat An-Nisa ayat 24: Dan (diharamkan atas kamu) orang-orang yang bersuami dari perempuan-perempuan, kecuali siapa- siapa yang dimiliki oleh tangan kanan kamu sébagai satu ketetapan Allah atas kamu; dan dihalalkan bagi kamu orang-orang lain dari yang (tersebut) itu, buat kamu cari (isteri) dengan harta-harta kamu, padahal berkawin, bukan berzina. Maka siapa-siapa yang kamu mau campuri dari perempuan-pe- rempuan itu, hendaklah kamu beri kepada mereka maskawin mereka sebagai satu kewajiban; tetapi tidak mengapa kamu beridla-ridlaan sesudah ketentuan, karena sesungguhnya Allah itu Pengetahui, Bijaksana .
📚 Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Sa'id Al Khudriy, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada peperangan Hunain mengirim pasukan ke Awthas, di sana mereka bertemu musuh dan berperang sehingga mereka memperoleh kemenangan serta mendapatkan para tawanan. Nampaknya sebagian sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam merasa berdosa menggauli wanita yang tertawan karena masih ada suami-suami mereka yang musyrik, maka Allah Azza wa Jalla menurunkan firman Allah Ta'ala, "Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki", yakni mereka (tawanan perang yang perempuan) halal bagi kamu apabila telah selesai 'iddahnya." Iddahnya adalah dengan melahirkan jika hamil atau mengalami sekali haidh jika tidak hamil.
Sampai mereka dicerai dan habis masa 'iddahnya.
Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersamanya, maka kamu boleh menjima'i mereka meskipun mereka bersuami, namun dengan syarat setelah istibra' (pengosongan rahim, baik dengan melahirkan jika sebelumnya hamil atau dengan sekali haidh jika tidak hamil). Jika budak yang bersuami tersebut dijual atau dihibahkan meskipun halal dijima'i oleh pembeli atau penerima hibah, namun pernikahannya tetap tidak batal karena pemilik yang kedua hanya menduduki posisi pemilik pertama, juga berdasarkan hadits Barirah yang diberikan pilihan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, wallahu a'lam.
Maka ikutilah dan jadikanlah petunjuk, karena di dalamnya terdapat obat penyembuh dan nur (cahaya), dan di dalamnya terdapat perincian tentang yang halal dan yang haram.
Maksudnya selain wanita-wanita yang disebutkan dalam surat An Nisaa' ayat 23 dan 24. Oleh karena itu, yang haram terbatas, sedangkan yang halal tidak terbatas, wal hamdulillah.
Berdasarkan ayat ini, maka ketika istri telah dijima'i, maka mahar menjadi tetap (wajib diberikan).
Misalnya menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan. Sebagian ahli tafsir menafsirkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan nikah mut'ah yang pada awal Islam dihalalkan, kemudian diharamkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Di dalam nikah mut'ah ditetapkan waktunya dan maharnya, ketika waktunya habis, lalu di antara keduanya ada yang merelakan mahar dengan menggugurkannya, maka hal itu tidak mengapa, wallahu a'lam.
Allah Maha luas ilmu-Nya dan Maha sempurna hikmah (kebijaksanaan)-Nya. Di antara ilmu-Nya dan hikmah-Nya adalah menetapkan syari'at-syari'at bagi manusia dan menetapkan batasan-batasan yang memisahkan antara yang halal dengan yang haram.
📚 Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI / Surat An-Nisa Ayat 24
Bila pada ayat yang lalu Allah melarang pernikahan yang menghimpun dua atau lebih perempuan bersaudara, maka ayat ini melarang seorang istri dinikahi oleh dua orang laki-laki. Dan diharamkan juga kamu menikahi perempuan yang sudah bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan bersuami yang secara khusus kamu dapatkan melalui tawanan perang ketika suaminya tidak ikut tertawan, yang kemudian kamu miliki. Pengharaman itu sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain perempuan-perempuan yang demikian itu, yakni selain perempuan yang disebutkan oleh ayat sebelum ini, jika kamu berusaha bersungguh-sungguh membayar mahar dengan hartamu untuk menikahinya bukan dengan maksud untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, istri-istri itu, segera berikanlah maskawinnya dengan sempurna kepada mereka sebagai suatu kewajiban yang harus kamu tunaikan. Tetapi tidak mengapa, artinya kamu tidak berdosa, wahai para suami, jika ternyata di antara kamu sebagai suami istri telah saling merelakannya, sebagian mahar atau keseluruhannya, setelah ditetapkan kewajiban pembayaran mahar itu secara bersama. Sungguh, Allah maha mengetahui, mahabijaksana. Dan barang siapa di antara kamu, wahai kaum muslim, yang tidak mempunyai biaya yang dapat dipergunakan sebagai perbelanjaan untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka dihalalkan menikahi perempuan yang beriman dari hamba sahaya yang bukan kamu miliki tetapi dimiliki oleh saudaramu sesama muslim. Allah mengetahui keimanan yang ada dalam hati-Mu sekalian. Janganlah kamu selalu mempersoalkan masalah keturunan, karena sebagian dari kamu adalah saudara dari sebagian yang lain sama-sama keturunan adam dan hawa. Karena itu, bila kamu benar-benar tidak mampu menikahi perempuanperempuan merdeka, maka nikahilah mereka, yakni perempuan-perempuan hamba sahaya itu, dengan izin tuan yang memiliki-Nya dan berilah mereka maskawin yang pantas sesuai dengan yang berlaku di kalangan masyarakat dan kondisi hamba sahaya pada waktu itu, yang tidak memberatkan kamu dan tidak pula merugikan si perempuan dan tuannya, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara kesucian diri mereka, bukan pezina dan bukan pula perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya yang mereka sembunyikan. Apabila mereka telah berumah tangga atau bersuami, tetapi masih saja melakukan perbuatan keji dengan berbuat zina yang terbukti secara hukum, maka berilah hukuman bagi mereka yang besarnya setengah dari apa, yakni hukuman perempuan-perempuan yang merdeka dan bersuami. Kebolehan menikahi hamba sahaya itu adalah izin bagi orang-orang yang takut terjatuh terhadap kesulitan dalam upaya menjaga diri dari perbuatan zina. Tetapi jika kamu bersabar dengan cara menahan diri agar tidak berzina atau menikahi hamba sahaya, itu lebih baik bagimu daripada menikahi mereka. Allah maha pengampun, maha penyayang.
Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!
Demikianlah berbagai penjabaran dari banyak ulama terhadap makna dan arti surat An-Nisa ayat 24 (arab-latin dan artinya), semoga membawa manfaat bagi kita bersama. Dukung perjuangan kami dengan mencantumkan tautan ke halaman ini atau ke halaman depan TafsirWeb.com.