Surat Al-Baqarah Ayat 234
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِىٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Arab-Latin: Wallażīna yutawaffauna mingkum wa yażarụna azwājay yatarabbaṣna bi`anfusihinna arba'ata asy-huriw wa 'asyrā, fa iżā balagna ajalahunna fa lā junāḥa 'alaikum fīmā fa'alna fī anfusihinna bil-ma'rụf, wallāhu bimā ta'malụna khabīr
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
« Al-Baqarah 233 ✵ Al-Baqarah 235 »
Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!
Kandungan Menarik Berkaitan Dengan Surat Al-Baqarah Ayat 234
Paragraf di atas merupakan Surat Al-Baqarah Ayat 234 dengan text arab, latin dan terjemah artinya. Ada variasi kandungan menarik dari ayat ini. Ada variasi penafsiran dari berbagai mufassir terkait kandungan surat Al-Baqarah ayat 234, di antaranya sebagaimana berikut:
📚 Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia
Dan orang-orang yang meninggal diantara kalian, sedangkan mereka meninggalkan istri-istri sepeninggal mereka, maka menjadi kewajiban istri-istri tersebut untuk menunggu dengan diri mereka melewati masa indah selama empat bulan sepuluh hari, mereka tidak boleh keluar dari rumah suami, tidak berdandan, dan tidak menikah. Maka apabila masa iddah itu telah berakhir, maka tidak ada dosa atas kalian wahai para wali wanita-wanita itu terkait apa yang mereka perbuat sendiri dari keluar rumah, berdandan, serta menikah dengan cara yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Dan Allah ta'ala Maha Mengetahui perbuatan-perbuatan kalian yang lahir maupun batin, dan akan memberikan balasan kepada kalian sesuai dengan perbuatan-perbuatan tersebut.
📚 Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an Univ Islam Madinah
234. Dan suami yang wafat meninggalkan istri, maka istri itu wajib menyelesaikan masa iddah hidad selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa ini ia tidak boleh menikah, berhias, dan keluar dari rumah suaminya kecuali ada kebutuhan mendesak. Apabila telah habis masa ini maka tidak mengapa baginya untuk kembali beraktifitas sebagaimana biasa sesuai syariat. Dan Allah Maha Mengetahui segala yang kalian perbuat.
Syeikh as-Syinqithi berkata: secara zahir ayat ini menjelaskan bahwa semua istri yang ditinggal mati suaminya harus melewati masa iddah selama empat bulan sepuluh hari, namun Allah menjelaskan dalam ayat lain bahwa hal ini berlaku jika istri tidak dalam keadaan hamil, sebab jika ia hamil maka masa iddahnya adalah sampai ia melahirkan, hal ini disebutkan dalam surat at-Talaq: 4, dan ditambah pula dengan penjelasan dari hadits Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi mengizinkan Subai’ah al-Aslamiyah untuk menikah setelah melahirkan padahal suaminya baru saja meninggal beberapa hari sebelumnya.
Dan pendapat yang benar dalam masalah iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai ia melahirkan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, bukan seperti pendapat yang mengatakan bahwa masa iddahnya adalah waktu yang paling lama dari dua masa iddah -melahirkan atau empat bulan sepuluh hari-.
📚 Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam Masjidil Haram
234. Dan orang-orang mati yang meninggalkan istri-istri yang tidak sedang hamil, maka para istri itu wajib menunggu (masa idah) selama 4 bulan 10 hari. Dalam kurun waktu itu ia tidak boleh keluar dari rumah suami, berhias maupun menikah. Apabila masa idah itu sudah habis, maka tidak ada dosa bagimu -wahai para wali- bila para istri itu melakukan apa yang semula dilarang bagi mereka selama masa idah, sepanjang dilakukan secara baik menurut ketentuan syariat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Allah Maha mengetahui apa yang kamu perbuat, tidak ada sesuatupun yang luput dari pengetahuan-Nya, baik sisi lahir maupun batin kalian, dan Dia akan memberi balasan yang setimpal dengan amal perbuatan kalian.
Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!
📚 Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah
234. وَيَذَرُونَ أَزْوٰجًا (meninggalkan isteri-isteri)
Yakni mereka mempunyai istri-istri.
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ (menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari)
Yakni menunggu empat bulan sepuluh hari.
Dan hikmah dijadikannya waktu iddah bagi yang wafat suaminya dengan ukuran waktu ini adalah karena janin secara umum bergerak selama empat bulan, dan Allah menambahnya dengan sepuluh hari karena kemungkinan gerakan janin melemah.
(dan hikmah lainnya) adalah untuk menghormati pernikahan yang pertama.
Adapun penangguhan nikah bagi yang ditinggal wafat suaminya adalah bagi seluruh istri baik itu masih muda atau sudah tua, baik itu yang masih mengalami haidh maupun yang sudah menaopuse, dan waktunya adalah empat bulan sepuluh hari; kecuali yang hamil, maka iddahnya adalah sampai ia melahirkan bayinya.
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ (Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya)
Yakni dengan habisnya masa iddah.
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِىٓ أَنفُسِهِنَّ (maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka)
Yakni dengan berhias, menerima pelamar, dan menikah jika ia meinginkan hal itu.
بِالْمَعْرُوفِ ۗ (menurut cara yang patut)
Yakni yang tidak melanggar syari’at dan adat istiadat yang baik.
Dan ayat ini digunakan sebagai dalil atas kewajiban Ihdad bagi wanita yang menjalani iddah wafat. Adapun makna ihdad adalah meninggalkan berhias berupa memakai parfum, memakai pakaian yang indah, dan memakai perhiasan.
📚 Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah
234. Dan suami-suami yang mati dan meninggalkan istri-istrinya, maka mereka harus menunggu masa iddah selama 4 bulan 10 hari 10 malam. Mereka tidak boleh menikah, berdandan dan tunangan dengan siapapun selama masa ini, karena janin biasanya bergerak sampai akhir bulan keempat, dan ditambah 10 hari untuk mencegah pergerakan janin yang lemah. Dan ketika masa iddah mereka selesai, maka tidak ada dosa bagi kalian untuk berhias, tunangan, dan menikah jika mereka menghendakinya sesuai syariat dan kebiasaan baik menurut orang-orang yang memiliki keluhuran hati.Dan Allah itu mengawasi urusan kalian, tidak ada satupun yang luput dariNya. Ini adalah masa iddah kematian setelah penjelasan masa iddah talak. Pemberian batasan itu adalah kewajiban yang harus dilalui wanita yang ditinggal mati suaminya. Al-Ihdad adalah meninggalkan perhiasan yang bagus, pakaian yang disulam, dan perhiasan.
📚 Tafsir Ash-Shaghir / Fayiz bin Sayyaf As-Sariih, dimuraja’ah oleh Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-‘Awaji, professor tafsir Univ Islam Madinah
Orang-orang yang mati} orang-orang yang wafat {di antara kalian dan meninggalkan} dan meninggalkan {istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menahan} menunggu {dirinya sampai empat bulan sepuluh hari. Kemudian, apabila telah sampai idah mereka} selesai masa idah mereka {maka tidak ada dosa bagi kalian} maka tidak ada kesalahan bagi kalian wahai para wali {mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka} mengenai apa yang mereka lakukan terkait berhias, menerima pinangan dan hal-hal yang dilarang bagi wanita di masa idah {menurut cara yang patut.} dengan cara yang tidak dilarang syariat {Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan
Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!
📚 Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H
234. Maksudnya, apabila suami meninggal, istrinya harus tetap tinggal dan wajib menunggu selama 4 bulan 10 hari. Hikmahnya adalah untuk membuktikan adanya kehamilan pada masa 4 bulan dan awal-awal bergeraknya (janin) pada bulan yang ke-5. Ayat yang umum ini dikhususkan dengan wanita-wanita yang hamil, karena iddah mereka adalah melahirkan bayinya, demikian juga hamba sahaya wanita, karena iddahnya adalah setengah dari iddah wanita merdeka yaitu 2 bulan 5 hari.
FirmanNya, “kemudian apabila telah habis iddahnya,” artinya telah selesai masa iddahnya, “maka tidak dosa bagimu, (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka,” artinya, untuk berhias dan memakai wangi-wangian, “menurut yang patut.” Maksudnya, dalam bentuk yang tidak diharamkan dan tidak pula dimakruhkan.
Ayat ini menunjukkan kewajiban ihdad (tidak bersolek) dalam masa iddah atas wanita yang ditinggal mati suaminya namun tidak bagi selainnya dari wanita-wanita yang diceraikan dan ditinggalkan (suaminya), dan ini merupakan kesepakatan para ulama.
“Allah mengetahui apa yang kamu perbuat,” maksudnya, mengetahui perbuatan-perbuatan kalian secara lahiriyah maupun batiniyahnya, yang tampak maupun yang tersembunyi, maka pasti Allah akan membalasnya. Dan tentang mengarahkan firmanNya kepada para wali dengan FirmanNya, “maka tidak ada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka,” merupakan dalil bahwa wali itu harus memperhatikan wanita tersebut dan melarangnya dari hal-hal yang tidak boleh dilakukan, dan memaksanya untuk melakukan yang wajib dan bahwasanya ayat ini dihadapkan untuk wali dan menjaditanggung jawabnya.
📚 Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas) / Fathul Karim Mukhtashar Tafsir al-Qur'an al-'Adzhim, karya Syaikh Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin, professor fakultas al-Qur'an Univ Islam Madinah
Ini adalah perintah dari Allah untuk para wanita yang suaminya telah meninggal dunia, agar mereka menunggu masa iddah selama empat bulan dan sepuluh hari. Hukum ini berlaku untuk istri yang telah berhubungan intim atau belum. Dasar hukum bagi istri yang belum berhubungan intim adalah ayat ini secara umum. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ulama hadits, serta dishahihkan oleh At-Tirmidzi: "Ibnu Mas'ud ditanya mengenai seorang lelaki yang menikahi seorang wanita, kemudian dia meninggal sebelum dia sempat berhubungan intim dengannya atau menetapkan maharnya. Lalu mereka ragu-ragu selama sebulan dalam hal ini. Dia berkata, “Aku berkata sesuai pendapatku. Jika ini benar, maka itu dari Allah, namun jika salah, maka itu adalah dariku dan setan. Allah dan RasulNya berlepas diri dari pendapat itu, yaitu “Baginya mahar wanita itu secara penuh, dan dalam kata lain, “Baginya mahar yang setara, tanpa dikurangi dan tanpa melebihi batas. Dia berhak mendapatkan warisan. Kemudian Ma'qil bin Yasar Al-Ashja'i berdiri dan berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW memutuskan perkara yang sama untuk Baru' binti Wasyiq. Lalu Abdullah sangat gembira dengan keputusan itu.
Dalam riwayat lain, sekelompok laki-laki yang berani, berdiri dan berkata, “Kami bersaksi bahwa Rasulullah SAW telah memutuskan perkara Baru’ binti Wasyiq. Keputusan itu hanya bagi istri yang ditinggal mati suaminya, dan dia dalam keadaan hamil. Maka masa iddahnya sampai dia melahirkan kandungannya, bahkan jika hanya berlangsung sebentar, karena keumuman firman Allah: (Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya) (Surah Ath-Thalaq: 4)
Ibnu Abbas berpendapat bahwa wanita itu harus menunggu selama dua periode haid atau empat bulan dan sepuluh hari, diambil dari mengumpulkan dua ayat (sebagai dalil). Ini adalah pendapat yang kuat, sekalipun tidak tercantum dalam hadits Subaiah Al-Aslamiyah, yang ada dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim, tanpa ada dalil yang kuat, bahwa suaminya, Sa'ad bin Khaulah, wafat saat dia sedang hamil, lalu dia tidak melahirkan kandungannya hingga setelah kematian suaminya. Dalam riwayat lain, dia melahirkan kandungannya beberapa malam setelah kematian suaminya. Setelah masa nifasnya berakhir, dia berhias, lalu dihampiri oleh Abu As-Sanabil bin Ba'kak, yang berkata kepadanya, "Aku melihatmu berhias, apakah kamu mengharapkan pernikahan? Demi Allah, kamu tidak akan menikah sampai telah berlalu empat bulan dan sepuluh hari" Subaiah berkata,”Setelah dia berkata hal itu kepadaku, aku mengumpulkan pakaianku ketika sora dan aku pergi menemui Rasulullah SAW dan aku bertanya mengenai hal tersebut. Lalu beliau memberi fatwa kepadaku bahwa masa iddahku telah selesai ketika melahirkan kandunganku, dan memerintahkanku untuk menikah jika ada kesempatan itu ada untukku. Abu Umar bin Abdul Barr berkata,”Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas kembali pada hadits Subaiah, yaitu menggunakannya sebagai hujjah.” Dia juga berkata berkata,”Dia membenarkannya dan para sahabat lainnya memberi fatwa dengan hadits Subaiah, sebagaimana yang itu adalah ungkapan orang yang berilmu tanpa terkecuali.
Demikian juga dikecualikan dari istri, jika dia adalah seorang budak. Maka, masa iddah bagi adalah setengah dari masa iddah seorang wanita merdeka, yaitu dua bulan dan lima hari menurut pendapat mayoritas ulama, karena ketika masa iddahnya adalah setengah dari status seorang wanita merdeka dalam hal hukum, maka demikian juga masa iddahnya. Di antara ulama seperti Muhammad bin Sirin dan beberapa ulama Zhahiriyah, menyamakan antara istri-istri yang merdeka dan yang budak dalam hal ini berdasarkan keumuman ayat ini, dan karena iddah termasuk perkara yang bersifat umum di mana semua makhluk setara dalam hal itu.
Firman Allah: (Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat) Hal ini dapat diambil kesimpulan terkait kewajiban untuk menahan wanita yang ditinggal mati suaminya selama masa iddahnya berdasarkan hadits shahih Bukhari Muslim dari sumber yang berbeda, yaitu Ummu Habibah dan Zainab binti Jahsy, ibunya orang-orang mukmin, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita melakukan ihdad (tidak berhias) atas mayat lebih dari tiga hari, kecuali untuk suaminya selama empat bulan sepuluh hari” Juga dalam hadits shahih Bukhari Muslim dari Ummu Salamah disebutkan bahwa seorang wanita bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya putriku, suaminya telah meninggal dan matanya telah memerah karena menangis. Apakah boleh dia menikah lagi?” Rasulullah menjawab: “Tidak” Semua ini menunjukkan bahwa beliau mengatakan tidak sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian beliau melanjutkan “dan masa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Sungguh pada masa jahiliyah, salah satu dari kalian tinggal selama setahun” Zainab binti Ummu Salamah berkata: “Wanita pada masa jahiliyah jika suaminya meninggal, dia masuk rumah dan mengenakan pakaian buruknya, tidak memakai wewangian atau hal lain sampai satu tahun. Kemudian dia keluar, memberi seekor kambing dan melemparkannya, kemudian memberi hewan ternak seperti keledai, domba, atau burung dan dia mengorbankannya. Maka sangat sedikit yang berkorban sesuatu kecuali dia mati.
Dari sini, mayoritas ulama telah berpendapat bahwa ayat ini menasakh ayat setelahnya, yaitu: (Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)) [Surah Al-Baqarah: 240]. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Abbas dan yang lainnya. Pandangan ini memiliki alternatif lain sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian.
Tujuannya yaitu bahwa ihdad adalah meninggalkan perhiasan seperti wewangian dan pakaian yang menarik bagi pasangan, seperti pakaian dan perhiasan lainnya. Hal itu merupakan kewajiban untuk masa iddah karena kematian (suami) berdasarkan satu ungkapan, dan tidak wajib untuk masa iddah yang bisa ruju’.
Firman Allah (Kemudian apabila telah habis 'iddahnya) yaitu, saat masa iddah mereka berakhir. Hal ini diungkapkan oleh Adh-Dhahhak dan Ar-Rabi’ bin Anas.
(maka tiada dosa bagimu (para wali)) Az-Zuhri berkata, yaitu para walinya (mereka berbuat terhadap diri mereka) yaitu wanita yang telah berakhir masa iddahnya. Ibnu Abbas berkata,”Jika seorang wanita ditalak, atau suaminya meninggal, maka ketika masa iddahnya berakhir maka tidak ada dosa baginya untuk berhias, dan mempersiapkan diri untuk menikah lagi. Hal ini merupakan tindakan yang sudah diketahui” Hal yang serupa juga diriwayatkan dari Muqatil bin Hayyan. Mujahid berkata bahwa ayat (maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut) maknanya adalah bahwa pernikahan adalah sesuatu yang halal dan baik. Diriwayatkan juga dari Hasan, Az-Zuhri, As-Suddi, dan lainnya.
📚 Aisarut Tafasir / Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi
Makna kata:
{ يُتَوَفَّوۡنَ } Yutawaffauna: Diwafatkan oleh Allah Ta’ala sesuai dengan umur yang telah ditetapkan.
{ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا } Wayadzarûna azwâjan: Meninggalkan istri-istri mereka
{ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ } Yatarabbashna bi anfusihinna: Para istri menunggu sampai habis masa ‘iddahnya yaitu selama empat bulan dan sepuluh hari.
{ فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ } Faidzâ balaghna ajalahunna: Sampai pada penghabisan masa ‘iddahnya
{ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ } Lâ junâha ‘alaikum: Tidak berdosa kalian wahai para wali, atas apa yang mereka lakukan seperti memakai wewangian, berdandan dan mempersiapkan diri untuk menerima pinangan.
Makna ayat:
Konteks pada dua ayat ini masih membicarakan tentang penjelasan seputar hukum perceraian, iddah dan nafkah. Pada ayat ini (234) menjelaskan bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, haruslah menunggu selama empat bulan sepuluh hari jika dia wanita merdeka, atau setengahnya apabila dia adalah budak. Wanita tersebut tidak diperbolehkan untuk berhias, memakai wewangian dan juga menerima pinangan pada saat itu sampai habis masa ‘iddahnya yang telah tertera dalam ayat di atas. Kecuali apabila dia hamil, maka masa ‘iddahnya sampai melahirkan kandungannya berdasarkan firman Allah dalam surat Ath-Thalaq: “Dan bagi perempuan yang mengandung maka masa ‘iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.” (QS Ath-Thalaq: 4)
Apabila telah selesai ‘iddahnya maka tidak berdosa bagi keluarga suaminya atau keluarga istrinya untuk membiarkan apa yang dilakukannya berupa meninggalkan ihdad (berkabung) dan mempersiapkan diri untuk menerima pinangan laki-laki lain, inilah makna firman Allah Ta’ala,”Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.” Yaitu menurut apa yang diperbolehkan bagi mereka.
Pada akhir ayat, Allah Ta’ala menasehati mereka dengan firmanNya,”Allah mengetahui apa yang kalian perbuat.” Maka berhati-hatilah terhadap perbuatan kalian dengan hanya mengerjakan apa yang diizinkan oleh Allah.
Pelajaran dari ayat:
• Penjelasan tentang masa ‘iddah bagi wanita yang ditinggal wafat suaminya yaitu selama empat bulan sepuluh hari, dan hadits menunjukkan bahwa masa ‘iddah budak wanita adalah separuhnya.
• Kewajiban melakukan ihdad (berkabung) bagi wanita yang ditinggal wafat suaminya, yaitu tidak berdandan dan memakai wewangian serta tidak menerima pinangan dari lelaki lain. Ia menetap di dalam rumah tempat wafat suaminya dan tidak keluar kecuali karena kebutuhan yang mendesak sekali (darurat).
Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!
📚 An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi
Surat Al-Baqarah ayat 234: Allah mengabarkan bahwasannya seorang laki-laki jika meninggal dan memiliki istri maka wajib bagi istri-istrinya masa iddah.
📚 Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I
Yaitu dengan tidak keluar dari rumah suaminya, tidak berhias dan tidak menikah. Dalam ayat ini terdapat dalil wajibnya si istri berihdad (berkabung) selama masa 'iddah karena ditinggal wafat suaminya, tidak karena perceraian dan perpisahan lainnya.
Keumuman ini ditakhshis dengan hamil, yakni wanita yang ditinggal wafat suaminya, jika ia hamil, maka 'iddahnya sampai melahirkan. Menjalani masa 'iddah selama empat bulan sepuluh hari adalah bagi wanita merdeka, adapun bagi wanita budak, maka 'iddahnya separuhnya, yaitu dua bulan lima hari.
Ayat ini menunjukkan bahwa hendaknya wali memperhatikan urusan si wanita, melarangnya dari mengerjakan perbuatan yang dilarang dan menekannya untuk menjalankan perbuatan yang wajib dilakukan serta membiarkan perkara yang dibolehkan oleh syari'at.
Berhias, bepergian atau menerima pinangan.
Sesuai syari'at; atau tidak haram dan tidak makruh.
Dia mengetahui amalan yang kamu kerjakan baik nampak maupun tersembunyi, jelas maupun samar dan Dia akan memberikan balasan terhadapnya.
📚 Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI / Surat Al-Baqarah Ayat 234
Ayat ini menjelaskan idah cerai mati agar tidak ada dugaan bahwa idah cerai mati sama dengan cerai hidup. Dan orang-orang yang mati di antara kamu, yakni para suami, serta meninggalkan istri-istri yang tidak sedang hamil, hendaklah mereka, para istri, menunggu atau beridah selama empat bulan sepuluh hari termasuk malamnya, sebagai ketentuan syarak yang bersifat qadar (pasti). Kemudian apabila telah sampai akhir atau selesai masa idah mereka, yakni para istri yang ditinggal mati suaminya, maka tidak ada dosa bagimu, wahai para wali dan saudara-saudara mereka, yakni tidak menghalangi dan melarang mereka mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri yang sebelumnya dilarang ketika masih dalam masa idah, menurut cara yang patut dan sesuai dengan agama dan kewajaran, seperti berhias, menerima pinangan, menikah, dan aktivitas lainnya. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan, baik yang kamu sembunyikan maupun yang kamu tampakkan. Ayat ini menjelaskan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang masih dalam masa idah. Dan tidak ada dosa bagimu, wahai kaum laki-laki, meminang perempuanperempuan itu yang masih dalam masa idah, baik idah cerai mati maupun karena ditalak tiga, selain yang ditalak raj'i (satu atau dua), dengan sindiran, seperti ucapan, aku suka dengan perempuan yang lembut dan memiliki sifat keibuan, atau kamu sembunyikan keinginanmu dalam hati untuk melamar dan menikahinya jika sudah habis masa idahnya. Demikian ini karena Allah mengetahui bahwa kamu tidak sabar sebagai lelaki akan menyebut-nyebut keinginanmu untuk melamar dan menikahinya kepada mereka, yakni perempuan-perempuan tersebut setelah habis idahnya. Tetapi janganlah kamu, wahai laki-laki, membuat perjanjian, baik secara langsung maupun tidak langsung namun terkesan memberi harapan untuk menikah dengan mereka, yakni perempuanperempuan yang masih dalam masa idah, secara rahasia, yakni hanya diketahui berdua, kecuali sekadar mengucapkan kata-kata sindiran yang baik. Dan janganlah kamu, wahai para lelaki, menetapkan akad nikah kepada perempuan yang ditinggal mati suaminya atau ditalak tiga sebelum habis masa idahnya, sebab akad nikahmu akan dianggap batal. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, yakni ketertarikanmu kepada perempuan itu untuk segera menikahinya, maka takutlah kepada-Nya, dari melanggar hukum-hukum-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah maha pengampun atas kesalahan akibat kelemahan dirimu, maha penyantun dengan memberimu kesempatan bertobat.
Mau pahala jariyah & rezeki berlimpah? Klik di sini sekarang!
Demikian beragam penjelasan dari para mufassir mengenai isi dan arti surat Al-Baqarah ayat 234 (arab-latin dan artinya), semoga berfaidah bagi kita semua. Dukunglah dakwah kami dengan memberi tautan ke halaman ini atau ke halaman depan TafsirWeb.com.